WahanaNews-Sumut I Setelah peluncuran Buku Ke-19 CEGAH NEGARA TANPA ARAH pada bulan Juni 2021 lalu, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo akrab dipanggil Bamsoet meluncurkan kembali Buku ke-21 nya berjudul NEGARA BUTUH HALUAN yang akan diterbitkan dan diluncurkan tanggal 10 September 2021 bersamaan dengan Buku Bamsoet Ke-20, HADAPI DENGAN SENYUMAN, Vaksinasi Kesehatan VS Vaksinasi Ideologi.
Buku NEGARA BUTUH HALUAN ini merupakan seri tulisan Bamsoet menanggapi reaksi atas Rekomendasi MPR RI Periode 2009-2014 dan 20014-2019 tentang perlunya menghadirkan kembali PPHN melalui amandemen terbatas untuk menjaga kesinambungan pembangunan.
Baca Juga:
Terima Ketum dan Pengurus PWI Pusat, Ketua MPR Dorong Peningkatan Kompetensi dan Profesionalitas Wartawan
Amandemen terbatas fokus pada upaya bersama menyusun dan menghadirkan pokok-pokok halauan negara (PPHN) sebagai pedoman dan kerangka rencana pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Meski jalan yang ditempuh MPR RI Periode 2019-2024 dalam mengambil kebijakan lewat musyawarah dan mufakat namun Bambang Soesatyo mengakui ada dinamika.
"Dinamika menunjukan ada ruang-ruang terbuka untuk menyampaikan pandangan dan gagasan," ungkapnya.
Baca Juga:
Ketua MPR RI, Bamsoet Dorong Optimalisasi Restorative Justice
Dinamika yang terjadi dicontohkan saat ini, ada keinginan untuk menghidupkan kembali rencangan pembangunan model Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Model pembangunan yang sekarang disebut pokok-pokok haluan negara (PPHN) itu sekarang sedang dibahas di MPR.
Untuk membahas PPHN, dikatakan oleh Bambang Soesatyo, MPR menjaring berbagai masukan dan aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat.
"Pimpinan rutin mendatangi perguruan tinggi di berbagai kota untuk meminta masukan dari kalangan akademisi terkait landasan pembangunan bangsa Indonesia untuk 25, 50 hingga 100 tahun ke depan," ungkapnya.
Dalam PPHN, Bamsoet mengakui dinamika yang ada di MPR sangat dinamis. Apalagi keinginan amandemen terbatas untuk memasukan PPHN dalam UUD NRI 1945 itu sudah bergaung sejak 2 periode atau 10 tahun yang lalu.
"Saya senang menghadirkan PPHN sebagai sebuah diskursus ketatanegaraan dan menunjukkan eksistensi MPR, bisa dikatakan telah berhasil. Namun menjadikan wacana tersebut sebagai sebuah usul perubahan, tentu sangat tergantung pada keputusan partai politik yang ada di MPR dan kelompok DPD," ujar Bamsoet.
Sesungguhnya, kata Bamsoet, perubahan UUD NRI 1945 telah diatur prosedurnya. UUD NRI 1945 memang tidak imun dengan perubahan karena memang pembentuknya mendesain perubahan UUD 1945 sedemikian rupa agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Namun, tambah Bamsoet, diskursus amandemen terbatas untuk menghadirkan kembali PPHN yang kemudian banyak "dipelintir" dan "digoreng" sebagai upaya perubahan periodesasi presiden menjadi 3 kali atau upaya perpanjangan masa jabatan presiden serta isu-isu lain serta kecurigaan yang terlalu prematur, menunjukan bahwa bangsa Indonesia memiliki beragam pikiran dan pendapat.
Ada pula yang berpendapat, kenapa harus terbatas? Kenapa tidak sekalian di kaji secara menyeluruh untuk menjawab tantangan dan dinamika jaman? Atau kenapa kita tidak kembali saja ke UUD 1945 yang asli dibuat oleh para pendiri bangsa, jika ada penyesuaian atau perubahan dimasukan dalam adendum seperti di negara Amerika Serikat?
Sebab, UUD 1945 hasil empat kali amandemen saat ini katanya tidak sesuai dengan semangat para pendiri bangsa. Dan banyak lagi pendapat yang saling berkelidan dan simpang siur di publik.
"Sebagai rumah kebangsaan, MPR sangat terbuka bagi siapa saja untuk menyampaikan saran maupun kritik. Karena saya yakin dan percaya, semua yang disampaikan ujungnya adalah untuk kepentingan bangsa agar Indonesia maju dan tumbuh," ujar Bamsoet.
PPHN diperlukan sebagai pedoman dan upaya untuk melahirkan negarawan yang otentik, agar bangsa ini tidak terus menerus berganti haluan manakala terjadi pergantian pemimpin nasional. Karena itu, menghadirkan kembali PPHN sebagai visi negara, jangan dipahami dengan pendekatan politik praktis. (tum)