WahanaNews-Sumut | Untuk menurunkan emisi karbon di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) adalah dengan teknologi co-firing. Dengan banyaknya lahan kering di Indonesia saat ini mampu menjadi modal utama untuk masifnya budidaya tanaman energi sebagai bahan baku utama biomassa dalam co-firing.
Melihat potensi pengembangan biomassa untuk mendukung ketahanan energi nasional, Director of Bioenergy and Surfactant Research Center IPB Meika Syahbana Rusli mengatakan potensi biomassa secara garis besar bisa dari pertanian dan perkebunan. Ia mengambil contoh untuk pengembangan biomassa dari Riau saja bisa mencapai 20 juta ton memanfaatkan limbah sawit. Begitu pun di Sumatera Utara disebut punya banyak potensi.
Baca Juga:
Khusus Jaga Keamanan Kota Nusantara, TNI Kerahkan 100 Prajurit
“Tapi di Jawa tidak kurang juga. Dari pertanian ini ada Jerami, sekam, dan sebagainya. Semua berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi,” ujarnya.
Terkait ketersediaan lahan, ia menilai keterlibatan masyarakat perlu dilakukan agar PLN maupun Pemerintah tidak sendirian menghadapi tantangan energi.
“Karena itu kita lihat juga bahwa masyarakat pun ternyata berpotensi untuk berpartisipasi atau terlibat dalam pengadaan sumber energi atau bioenergi tersebut,” jelasnya.
Baca Juga:
Menteri Kebudayaan Fadli Zon: Akulturasi Budaya Tionghoa Beri Dampak bagi Nusantara
Pihaknya menyebut dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dari kategori Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Desa saja sudah cukup potensial. Tanpa memperhitungkan kategori pengelolaan hutan lain seperti hutan alam, izin pemanfaatan untuk perhutanan sosial, serta kemitraan kehutanan disebut ada 572 ribu hektar yang bisa digunakan masyarakat.
Dari survei yang dilakukan menurutnya tahun lalu lahan kering di Pulau Jawa saja, dalam area 60 km dari PLTU, tersedia lahan kering hingga 916 ribu hektar. Jika PLN mengimplementasikan kebijakan cofiring 5 persen pada 16 PLTU yang ada, disebut hanya akan memerlukan 189 ribu hektar.
“Jika ditingkatkan persentase menjadi 10 persen sekitar 379 ribu hektar, artinya lahan masih cukup untuk pengembangan biomassa tersebut,” sebutnya.
Ia pun memberi catatan bagaimana menggerakkan masyarakat agar mau membudidayakan tanaman energi seperti kaliandra, gamal, lamtoro, sengon, dan lainnya. Selain memikirkan pola tanam tumpang sari antara tanaman energi dan tanaman lainnya, keekonomian dari pasokan disebut juga penting. Berikutnya menciptakan ekosistem tanaman energi yang melibatkan masyarakat lewat kelompok tani, pihak pengolah yang bisa dari anak usaha PLN atau swasta, hingga akhirnya diterima oleh PLTU
"Ini yang menjadi concern PLN agar suplai biomassa berlanjut dari waktu ke waktu,” ujarnya lagi.
Pihaknya menyebut telah melakukan analisa kelayakan dan keekonomian terhadap potensi kayu yang dinilai kompetitif bila ditanam dan dijual oleh petani. Meski demikian, menurutnya tak kalah kebijakan pemerintah atau mekanisme dukungan yang dibutuhkan untuk menjalankan co-firing dengan biomassa.
Sebagai contoh ia menyebut bagaimana di Jepang dan Korea Selatan, meski tak memiliki sumber biomassa memadai, namun bisa menjalankan program dengan melakukan impor serta didukung oleh kebijakan negara itu.
“Amerika Utara, Brazil dan Australia tidak melakukannya karena dukungan pemerintah tidak memadai. Jadi catatannya bisa berjalan jika ada dukungan kebijakan dan insentif,” tandasnya. [rum]