WahanaNews-Sumut | Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Edy Rahmayadi menyebutkan bahwa pengelolaan kawasan Danau Toba memerlukan kerja bersama yang kolaboratif oleh para pemangku kepentingan, terutama unsur pemerintah dan pelaku wisata.
Hal tersebut disampaikan Gubernur dalam sambutannya pada Diskusi Kelompok Terarah Perkuatan Kolaborasi Antara Pihak Dalam Mendorong Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Danau Toba, yang digelar Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), di Hotel Santika Dyandra Medan, Jalan Raden Saleh, Medan, Kamis (24/11), kemarin.
Baca Juga:
Yin-Yang konsep dalam filosofi Tionghoa yang biasanya digunakan untuk mendeskripsikan Sifat Kekuatan
Hadir di antaranya Dirjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kemen ATR/BPN Budi Situmorang, Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK Edy Suryanto, Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Sumut Arief S Trinugroho, Kepala Daerah dari sejumlah kabupaten yang bersinggungan dengan Danau Toba, perwakilan Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), serta pejabat terkait.
Danau Toba sebagai objek pariwisata andalan, sekaligus prioritas utama pembangunan nasional perlu penanganan yang menyeluruh serta kolaboratif, antara pemerintah pusat, provinsi sebagai perwakilannya, serta pemerintahan kabupaten/kota yang bersinggungan langsung dengan pengelolaan kawasan strategis nasional tersebut.
“Ada BPODT itu, kita pelu tahu juga, apa yang sedang mereka lakukan, yang akan mereka lakukan dan apa sasarannya. Perlu sekali kita koordinasi, supaya saya tahu apa yang harus dilakukan,” ujar Gubernur.
Baca Juga:
Menteri BUMN Apresiasi Gerak Cepat PLN Hadirkan Energi Bersih di IKN
Selanjutnya, kata Gubernur, langkah kolaborasi juga berkaitan erat dengan upaya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Bahkan dirinya berkonsultasi kepada kepala daerah di kawasan Danau Toba tentang bagaimana mengatasi masalah yang ada, seperti keberadaan ikan Red Devil (ikan merah) yang memangsa bibit ikan mujahir yang selama ini merupakan endemik.
“Saya berterima kasih dan mendukung upaya semua pihak yang akan melaksanakannya secara transparan. Termasuk aturan-aturan itu, kalau memperhatikan kondisi masyarakat, pasti mereka akan menerima. Karena kalau rakyat tak percaya, tak akan bisa (program) berjalan. Jadi beri mereka kepercayaan, bagaimana sumber daya manusia (SDM) kita tingkatkan,” jelas Gubernur.
Oleh karenanya, Gubernur meminta aturan main terkait tata ruang yang ada di Danau Toba perlu koordinasi yang kuat dan kolaboratif. Sehingga tidak terkesan jalan sendiri, atau berbanding terbalik dengan semangat pemerintah pusat menjadikan kawasan itu lebih maju dari segi pariwisata, yang bermuara kepada kesejahteraan rakyat.
Sementara itu, Dirjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kemen ATR/BPN Budi Situmorang menjelaskan bahwa penataan ruang memang perlu kolaborasi dan penyesuaian antara pusat, provinsi dan kabupaten kota. Sehingga upaya itu bisa diwujudkan melalui pembinaan, pengendalian dan pemanfaatan ruang.
“Kepada pemerintah daerah melalui sejumlah instrument pengendalian. Jadi kami bukan mengatakan bahwa perencanaan kabupaten itu tidak baik. Tetapi fungsi danau yang ada saat ini harus diperkaya lagi dengan fungsi pengendaliannya. Termasuk untuk kabupaten Pakpak Bharat, ternyata ada aliran dari bawah tanah yang masuk ke Danau Toba, sehingga daerah itu juga harus dijaga lingkungannya,” jelas Budi.
Dalam instrumen pengendalian tata ruang kawasan Danau Toba, lanjut Budi, sudah ada aturan dan ketentuan khusus. Namun kondisi di sana sudah banyak pembangunan, sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataannya banyak berdiri bangunan yang tidak sesuai ketentuan. Karena itu perlu upaya pencegahan perubahan fungsi ruang untuk masa mendatang.
“Dimulai dari kabupaten, provinsi dan pusat. Kewenangan itu dapat diambil alih dengan waktu tertentu. Kalau tidak dilakukan oleh bupati dalam waktu tertentu, Gubernur punya hak untuk mengambil alih. Begitu juga jika Gubernur tidak melaksanakannya, menteri yang mengambil alih dalam jangka waktu tertentu,” katanya.
Begitu juga dengan ketentuan pidana sebut Budi, bagi pejabat yang memberikan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, maka akan ada sanksi kurungan. Sebagaimana catatan mereka tentang adanya indikasi pelanggaran.
“Indikasi pelanggaran tata ruang sebanyak 1.482 yang tidak sesuai (di kawasan Danau Toba). Dan telah dilakukan verifikasi dan konfirmasi, 19 kasus ditetapkan sebagai pelanggaran pemanfaatan ruang. Ada 11 kasus di Samosir, kemudian 5 kasus di Simalungun dan ada 3 di Kabupaten Humbanghasundutan,” terangnya.
Budi mengakui bahwa masih ada perbedaan di antara para pemangku kepentingan dalam hal persepso terhadap urgensi, sehingga komitmen penertiban pelanggaran kurang optimal. Karenanya membutuhkan kolaborasi secara keseluruhan demi penyelamatan kawasan Danau Toba.
“Kolaborasi bisa terjadi jika ada kesamaan pemahaman dari seluruh pemangku kepentingan. Besar harapan kami semoga diskusi ini dapat membawa perubahan besar. Namun bukan berarti upaya pengendalian membuat investasi tidak boleh masuk. Tetapi bagaimana tidak mengorbankan kepentingan masyarakat yang lebih besar (kelestarian Danau Toba),” pungkasnya. [rum]