WahanaNews-Sumut I Di luar trauma evakuasi Kabul, Joe Biden melakukan penarikan yang jauh lebih luas: Amerika Serikat (AS) memutuskan untuk berhenti menggunakan sumber daya militer yang besar untuk memaksakan ketertiban dan nilai-nilai AS di seluruh planet ini.
"Amerika telah kembali," kata slogan Presiden Joe Biden, tetapi penarikan penuh yang tanpa penyesalan dari Afghanistan menunjukkan Amerika tidak akan kembali ke bisnis seperti biasa.
Baca Juga:
Prabowo Subianto Sambangi Gedung Putih, Rayakan 75 Tahun Hubungan Diplomatik dengan AS
"Keputusan tentang Afghanistan ini bukan hanya tentang Afghanistan," kata Biden dalam apa yang dilihat banyak orang sebagai pidato bersejarah pada hari Selasa. "Ini tentang mengakhiri era operasi militer besar untuk membuat kembali negara lain (sesuai keinginan dan nilai-nilai AS)."
"HAM tetap menjadi pusat kebijakan luar negeri kami, tetapi cara untuk melakukannya bukanlah melalui pengerahan militer tanpa akhir," kata Biden, "Strategi kita harus berubah."
Benjamin Haddad, direktur Pusat Eropa di Dewan Atlantik dan pakar hubungan transatlantik, menyebut pidato itu "salah satu penolakan paling fasih terhadap internasionalisme liberal oleh presiden AS mana pun dalam beberapa dekade terakhir."
Baca Juga:
Demokrat Tuding Keputusan Biden sebagai Penyebab Kegagalan Harris Hadapi Trump
Bagi orang-orang Amerika yang terlalu lama membayangkan negara mereka adalah negara adidaya yang unik dan tak terkalahkan, pemenang Perang Dingin, disusul berbagai tindakan intervensi militer yang hebat di mana-mana dari Irak hingga Afrika sejak itu, pernyataan Presiden Biden adalah kejutan.
Namun jajak pendapat menunjukkan, haluan dan keputusan Biden mendapat dukungan yang luas di dalam negeri.
Haluan dan kebijakan kepresidenan Joe Biden kerap dilihat sebagai penolakan terhadap pemerintahan Donald Trump.
Memang benar banyak yang berubah dan berbeda 180 derajat saat Biden mulai memerintah pada 20 Januari lalu dibanding masa pemerintahan Donald Trump.
Tetapi penentangan Biden atas petualangan militer yang tiada akhir di mana-mana, yang disebut para pengkritik bahwa AS bertindak sendiri sebagai "polisi dunia", sejatinya adalah Trumpian, atau haluan dasar pandangan pemerintahan Donald Trump.
Keduanya, Trump dan Biden, punya pandangan mendasar yang sama tentang hal tersebut.
Ketika Biden mengumumkan "saatnya untuk mengakhiri perang tiada akhir ini," tentang Afghanistan, "itu bisa dengan mudah menjadi (prestasi) Trump," kata Charles Franklin, seorang profesor Sekolah Hukum Marquette dan direktur jajak pendapat Marquette.
Hari ini "publik tidak bersedia berkomitmen untuk peran internasional yang besar, tidak seperti peran yang dimainkan AS tahun 1950-an-1990-an," kata Franklin kepada AFP seperti dilansir France24, Sabtu (4/9/2021).
Mengenai Afghanistan khususnya, jajak pendapat menunjukkan dukungan kuat untuk keluar, sebesar 77 persen. Ini menurut jajak pendapat baru Washington Post/ABC News, yang dirilis bahkan saat Biden harus menerima pukulan bertubi-tubi atas cara penarikan yang kacau dan tidak sesuai estimasi militer serta intelijen.
Walau begitu, Joe Biden punya perbedaan mendasar serta mencolok dari kaum isolasionis di AS. Perbedaan itu adalah antusiasme pemerintahan Joe Biden untuk membangun aliansi dan hubungan di berbagai kawasan.
Doktrin dan Teori Biden menginginkan AS tidak lagi menjadi polisi dunia yang angkuh, namun ingin menjadi pemimpin yang bersahabat dari masyarakat dunia.
Segera setelah berkuasa, pemerintahan Joe Biden bergerak sangat cepat untuk menempatkan kembali Washington di episentrum perundingan yang ruwet antara negara-negara besar dan Iran mengenai kebijakan nuklirnya, tentang isu kesepakatan iklim, dan dengan sekutu-sekutu tradisionalnya di NATO.
Perjalanan Biden ke Eropa untuk menghadiri KTT G7 dan NATO, yang merupakan satu-satunya perjalanan Biden ke luar negeri sejauh ini, adalah perjalanan diplomatik yang mungkin ibaratnya setara dengan kembali utuhnya sebuah band metal setelah salah seorang anggotanya kembali bergabung ke band tersebut setelah ngambek dan menarik diri.
Namun, sekarang, beberapa dari sekutu itu mungkin merasa jengah, kata para analis.
Tricia Bacon, seorang ahli kontra-terorisme di departemen hukum Universitas Amerika, mengatakan saat ini sekutu merasakan "frustrasi yang wajar" atas kurangnya koordinasi dengan sekutu pada penarikan mundur AS dari Afghanistan.
"Pesan AS harus sangat konsisten untuk mendapatkan kembali kredibilitas yang hilang," kata Tricia.
Dan Imad Harb, direktur penelitian di Arab Center di Washington, mengatakan sekutu-sekutu di Eropa bukan satu-satunya yang mumet dan bertanya-tanya.
"Rezim negara-negara Arab yang terbiasa punya hubungan dekat dengan AS harus khawatir dengan apa yang terjadi di Afghanistan," tulisnya di situs lembaga think tank itu.
"Biden mungkin akhirnya juga akan mengakhiri intervensi militer AS di Timur Tengah yang lebih luas," kata Harb.
Menyebut pidato pasca-penarikan Biden "membuat kita tersadar," Harb mengatakan kontur dari "Doktrin Biden" "akan segera menaburkan kehebohan dan "kegentaran" di Timur Tengah, yang selama dua dekade tidak mengenal realitas lain selain intervensi AS disana. (tum)