Oleh: Drs. Thomson Hutasoit
Baca Juga:
Toga Purba Boru Bere Jabodetabek Periode 2024-2029 Dilantik, Robert Purba Ketua Umum
WahanaNews-Sumut I Salah satu kekeliruan besar dan kesalahan
fatal tak disadari penikmat sejarah selama tujuh dekade (70-an) tahun pasca
kemerdekaan RI ialah tidak mengerti, memahami paripurna mengapa para pendiri
bangsa (founding fathers) memilih prinsip kebangsaan Pluralisme-Multikultural
landasan membangsa menegara Indonesia.
Para pendiri bangsa atau pelaku sejarah dari seluruh penjuru
seantero Nusantara menyadari paripurna untuk mempersatukan hetrogenitas
Nusantara terdiri dari 17.508 pulau, 1.340 suku bangsa, 300 kelompok etnik, 4
ras, 742 bahasa daerah, 7.241 karya budaya, 225 warisan budaya tak benda, 6
agama resmi, ratusan kepercayaan lokal (telah diakui Keputusan Mahkamah
Konstitusi) tidak lain dan tidak bukan hanyalah Pancasila, UUD RI 1945,
Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Baca Juga:
Video Manortor dan Lagu Bataknya Viral, Jessica Mila Tuai Pujian
Putera-Puteri terbaik seluruh bumi Nusantara dengan cerdas,
brilian, jenial mengenal kekuatan dan keunggulan kebhinnekaan Indonesia aset
besar menghadirkan kemakmuran, kesejahteraan, kebahagiaan seluruh rakyat
Nusantara jika keanekaragaman adat budaya tumbuh berkembang di "Taman Sari
Bangsa" terpelihara, dirawat, dikembangkan symbiosis-mutualistis dari
generasi ke generasi sepanjang masa.
Karena itu pulalah Bung Karno dengan tegas dan gamblang
mengatakan;
"Kalau jadi Hindu janganlah jadi India,
Kalau jadi Islam janganlah jadi Arab,
Kalau jadi Kristen janganlah jadi Jahudi.
Tetaplah jadi orang Nusantara dengan adat budaya Nusantara
yang kaya raya ini.
Musuh terberat itu rakyat sendiri: Rakyat yang mabuk budaya
luar, yang kecanduan agama yang rela membunuh bangsa sendiri demi menegakkan
budaya asing".
Kecerdasan, kebrilianan, kejenialan Bung Karno melihat
situasi kondisi jauh ke depan karakter mental, sikap perilaku penikmat sejarah
sungguh sangat luar biasa dan terbukti terjadi dalam perjalanan berbangsa dan
bernegara akhir-akhir ini.
Menurut Bergen Evan (1946) "Tiap peradaban betapapun
primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat".
John Herman Randall, Jr dan Justus Buchler (1969)
mendefinikan "akal sehat sebagai pengetahuan yang diperoleh lewat
pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan".
Perbedaan pendidikan antara manusia dengan binatang terutama
terletak dalam tujuannya: manusia belajar agar berbudaya sedangkan binatang
belajar untuk mempertahankan jenisnya.
Pemahaman paripurna tentang adat budaya selaku peradaban
manusia di atas jagat raya mendorong kecintaan terhadap adat budaya mendalam
dan mendetail.
Adat budaya dengan segala instrumen pendukungnya menjadikan
suatu suku bangsa, etnik memiliki ciri khas membedakannya dengan suku bangsa,
etnik maupun bangsa yang lain.
Perbedaan spesifik itulah "Jati Diri" suatu bangsa
harus dirawat, dilestarikan, dikembangkan membentuk karakter unggul berdaya
saing, baik regional maupun global.
"Tetaplah jadi orang Nusantara dengan adat budaya
Nusantara yang kaya raya ini" adalah pengenalan, pemahaman paripurna Bung
Karno terhadap kekuatan dan keunggulan bangsa Indonesia, dan tak ada satu
bangsa atau negara pun di dunia memiliki kebhinnekaan adat budaya Indonesia.
Aneka ragam busana, kuliner, seni, alat musik, situs budaya,
sumber daya alam (SDA), dll anugerah Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia
tersebar di seluruh wilayah kedaulatan Republik Indonesia adalah potensi besar
menghadirkan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan seluruh rakyat,
tanpa kecuali bila digali dan diefektifkan dengan baik dan benar.
Tapi sungguh disayangkan dan dikesalkan aset besar maha
dahsyat itu diabaikan dan dibuang sia-sia karena sebahagian anak bangsa telah
terjangkit mabuk budaya luar, dan bahkan rela membunuh bangsa sendiri demi
menegakkan budaya asing sebagaimana dikatakan Bung Karno.
Ada pihak-pihak tak bertanggungjawab "membakar
ulos" ada tak mengakui budaya leluhur, ada memperolok-olok, menghina adat
budaya, ada menghancurkan situs perdaban, ada mempersoalkan dan
mempertentangkan kuliner Nusantara
dengan paham agama tertentu, ada menghina tradisi adat-istiadat, dll.
Sementara para mabuk budaya luar itu mengagung-agungkan,
mendewa-dewakan budaya asing dan membunuh bangsa sendiri demi menegakkan budaya
asing itu. Misalnya, budaya Korea, India, Arab, Jahudi, Eropa, dll.
Padahal, aneka ragam adat budaya Nusantara tidak kalah
kualitas dengan budaya asing bila dikelola dan dikembangkan profesional.
Ketika Presiden Joko Widodo atau Jokowi menggunakan busana
Nusantara pada perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia sejak
Presiden Republik Indonesia adat budaya Nusantara menjadi mendunia.
Presiden Jokowi mengenakan busana adat Baduy pada Pidato
Kenegaraan 16 Agustus 2021 telah meningkatkan permintaan busana adat Baduy
laris manis dan digemari publik.
Sadar atau tidak, setuju atau tidak kepiawian Presiden
Jokowi mengangkat dan mempromosikan adat budaya Nusantara adalah kecerdasan,
kebrilianan, kejenialan luar biasa mengenal, memahami kekuatan, keunggulan
bangsa harus dilakukan seluruh anak bangsa.
Presiden Jokowi berlatar belakang enterpreneurship
benar-benar seorang "Markerting" handal dan top sehingga mampu
menangkap segala peluang termasuk mempromosikan adat budaya Nusantara komoditi
sumber kemakmuran, kesejahteraan rakyat yang terabaikan selama berpuluh-puluh
tahun pasca kemerdekaan.
Tapi anehnya orang-orang dan/atau pihak mengaku diri pintar
dan cerdas tidak pernah merasa malu terhadap dirinya yang tak kenal kekuatan
dan keunggulan bangsa sehingga masih nyinyir, culas, cemooh, dan berkomentar
miring terhadap Presiden Jokowi.
Dasar paranoid, hipokrit, munafik, halusinasi yang hanya
bisa plintir dan menyalahkan orang lain tanpa bukti prestasi kinerja berguna
dan bermanfaat bagi Nusa dan Bangsa.
Salut dan bangga untuk mu Presiden Jokowi yang telah mengangkat dan mempromosikan adat
budaya Nusantara aset besar maha dahsyat disia-siakan, diabaikan para mabuk
budaya luar selama ini. (tum)
Penulis adalah pemerhati pembangunan dan sosial budaya.