WahanaNews-Sumut | Muhammad Rasoki (32), merupakan salah seorang nelayan tradisional yang menangkap ikan di sungai Batangtoru, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel). Ia telah menekuni profesi tersebut puluhan tahun. Menyekolahkan anak-anak hingga ke jenjang tertinggi, menjadi motivasi ayah 3 anak ini.
Pria lulusan SMA ini menjadi nelayan tradisional bukanlah secara kebetulan. Ia meneruskan
profesi orangtuanya yang dulunya juga sebagai penangkap ikan tradisional di sungai Batangtoru. Awal mulanya ia hanya diajak, hingga akhirnya jatuh cinta dengan pekerjaan itu.
Baca Juga:
Politeknik Transportasi SDP Palembang Mengadakan Diklat untuk Pelaku Transportasi Sungai dan Danau
*Sudah lama, dari orangtua dulu juga penangkap ikan, yang akhirnya turun ke saya. Mungkin sudah 20 tahun," kata
Muhammad Rasoki, saat dijumpai di pinggiran sungai Batangtoru, Rabu (19/1/2023).
Dituturkannya, hasil tangkapan ikan berupa, lelan, hampala, garing, gurame dan udang, dipasok ke rumah makan Kasih Bunda, Parsariran, dimana orangtuanya dulu menjual ikan. Hasil penjualan dipergunakan untuk menutupi kebutuhan pokok rumah tangga dan biaya sekolah anak-anak.
"Bisa sekali sehari, bisa sekali dua hari. Hasil tangkapan tidak menentu, kadang 3 kg, kadang 4 kg, kadang mau juga 10 kg, tergantung rezeki," sambungnya.
Baca Juga:
Pencarian ABK Tugboat yang Terbakar di Sungai Barito Dihentikan Setelah Sepuluh Hari
Saat dipertanyakan faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan, suami dari wanita yang membuka warung kopi ini menyebutkan, banyak tidaknya nelayan lain yang menangkap ikan dan besar tidaknya air sungai, menjadi faktor penentu hasil tangkapan.
"Banyak orang sini cari ikan. Siapa yang duluan, dia lebih banyak dapat. Sungai yang besar juga menjadi faktor penentu," jawab pria yang memilih menangkap ikan dari sore hingga malam hari ini.
Terkait sungai Batangtoru yang kini telah menjadi pembuangan limbah PT Agincourt Resources, pengelola Tambang Emas Martabe, Muhammad Rasoki mengaku jika limbah yang dialirkan ke sungai tidak mempengaruhi habitat dan keberlangsungan hidup hewan air.
"Dari jaman orangtua saya hasilnya tetap sebegini-begini. Ikannya juga tidak berkurang dan tetap segar. Kualitasnya juga sama seperti dulu. Ini membuktikan ekositem sungai masih tetap baik dan terjaga," aku pria yang akrab disapa Oki ini.
Menurutnya, jika aktivitas pembuangan limbah yang dilakukan PT Agincourt Resources ke sungai Batangtoru mempengaruhi keberlansungan hidup dan perkembangbiakan ikan, ia meyakini nelayan-nelayan tidak lagi akan mendapat hasil, dan pastinya akan beralih profesi. Namun kenyataannya, hingga saat ini nelayan tradisional masih tetap nyaman dengan pekerjaan tersebut.
Hasil tangkapan ikan tidak menurun dan hasilnya tetap cukup menutupi kebutuhan rumah tangga serta biaya sekolah anak-anak. Harga ikan sungai yang saat ini di banderol Rp 25 ribu hingga Rp 40 ribu per kg, memastikan nelayan tradisional berpenghasilan minimal Rp1,5 juta per bulannya.
Walau merasa nyaman sebagai nelayan tradisional, Muhammad Rasoki tidak berkeinginan mewariskan profesi tersebut kepada anak-anaknya. Ia berharap, anak-anaknya sukses dengan melakoni profesi lain.
"Ngak lah. Ini banyak tantangannya. Kalau air besar bisa hanyut. Saya pernah hanyut 3 kali, selamat ditolong warga," pungkasnya sambil tersenyum. [tum]