Oleh: Drs. Thomson Hutasoit
Salah satu karakter paling menarik dielaborasi dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi ialah karakter kepemimpinan sederhana, bersahaja melindungi, memagari, mengayomi seluruh rakyat bagaikan sebuah payung melindungi dari guyuran hujan terik matahari menyengat sehingga terhindar dari berbagai potensi sakit-penyakit.
Baca Juga:
Kejutan di Pilgub Jakarta 2024, Politikus PDIP Effendi Simbolon Dukung All Out Ridwan Kamil
Hampir semua anak manusia diatas bumi mengenal "Payung" mulai lapisan masyarakat terendah (Rakyat Marjinal-red) hingga lapisan masyarakat kelas atas (konglomerat, pejabat publik) kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), presiden maupun pemimpin kelas dunia.
Walau demikian, belum tentu mengetahui, memahami fungsi, peran, manfaat dari sebuah payung bagi dirinya secara paripurna.
Buktinya, sebuah payung hanya diperlukan dan dirasa penting ketika menghadapi masalah seperti; datang hujan atau panas matahari menyengat. Payung kadangkala disepelekan, tidak dianggap apa-apa dan terbuang begitu saja.
Baca Juga:
Jokowi Hadiri Kampanye RK-Suswono di Jakarta: Saya Ridwan Kamil!
Ada beberapa ungkapan tentang payung seperti; sebelum datang hujan sediakan payung; payung hukum, payung perusahaan, dll yang tentu telah dimengerti, dipahami publik dalam bahasa sehari-hari.
Bagi seorang Jokowi memulai karier politik sejak Walikota Surakarta-Solo, Gubernur DKI Jakarta, Presiden Republik Indonesia Ketujuh, payung adalah "Simbol Kepemimpinan" sangat esensial fundamental wujud nyata kehadiran seorang pemimpin otentik, pemimpin untuk semua untuk memayungi, memagari, mengayomi seluruh rakyat dari berbagai ancaman, baik dari domestik maupun internasional.
Kekuasaan baginya adalah alat memperjuangkan nasib penderitaan rakyat dari berbagai hambatan, ancaman, tantangan, rintangan dari pihak manapun sehingga beliau berperan, berfungsi sebagai sebuah payung melindungi guyuran hujan terik matahari menyengat agar rakyatnya terhindar dari berbagai permasalahan berbanga dan negara.
Beliau tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan sehingga kekuasaan tidak dijadikan alat menumpuk kekuasaan, baik melanggengkan kekuasaan politik, kekuasaan finansial, dll bagi anak-anaknya, keluarga maupun kroni-kroninya sejak Walikota, Gubernur maupun Presiden Republik Indonesia.
Sementara disisi berbeda para pemimpin di negeri ini sebahagian besar menjadikan kekuasaan tujuan akhir untuk menumpuk harta kekayaan bagi dirinya, anak-anaknya, keluarga, kerabat, kroni-kroninya hingga tujuh (7) turunan dengan menghalalkan segala cara, termasuk penyelewengan kekuasaan mengkhianati sumpah/janji jabatan, melanggar hukum, norma, dan rasa keadilan.
Bagi mereka kekuasaan adalah kesempatan empuk membangun imperium kekuasaan politik, kekuasaan finansial mumpung berkuasa. Nasib penderitaan rakyat selalu dikoar-koarkan hanyalah kamuflase, gincu pemanis, pelipur lara hati gundah gulana membius alam sadar.
Jika diperhatikan cermat dan seksama tipikal presiden negeri ini sejak dari Presiden Soekarno (Bung Karno), Soeharto, BJ. Habibie, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri (Mbak Mega), Bambang Susilo Yudoyono (SBY), Joko Widodo (Bung Jokowi) akan terlihat terang- benderang siapa yang benar-benar memosisikan diri sebagai sebuah "PAYUNG" memayungi, melindungi, memagari rakyat agar terhindar dari perpecahan, konflik dan pertumpahan darah sesama anak-anak Ibu Pertiwi Indonesia.
Tanpa pretensi dan merendahkan serta menjelek-jelekkan siapapun presiden yang telah mengabdikan jiwa dan raganya terhadap bangsa dan negara perlu dikaji, dianalisis style kepemimpinan nasional pernah ada pasca kemerdekaan Indonesia 76 tahun lalu pelajaran berharga bagi generasi dalam berbangsa dan bernegara ke depan.
Bung Karno berperan sebagai "Penyambung Lidah Rakyat" pada perjuangan kemerdekaan yang mampu sebagai panutan dan sangat dihormati sehingga mampu memberi arahan dan komando agar terhindar dari pertumpahan darah dari kekuatan tentara penjajah kolonial. Dan ketika berkuasa selalu dielu-elukan rakyat karena tidak pernah menjadikan dirinya "menara gading" dari rakyat yang dipimpinnya.
Bahkan ketika beliau "dilengserkan" dari tampuk kekuasaan (presiden-red) tidak melakukan perlawanan sekalipun masih memiliki kekuatan pendukung fanatik mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya.
Bung Karno memilih lebih baik hilang kekuasaan daripada pertumpahan darah sesama anak bangsa bagaikan "Payung" bagi bangsa dan negara yang dicintai dari hati dan pikiran paling dalam.
Bung Karno tidak rela dan mau mengorbankan rakyatnya demi mempertahankan dan melanggengkan tahta kekuasaan.
Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.(PDI-Perjuangan) selaku pemenang Pemilu 1999 tidak otomatis terpilih menjadi presiden akibat munculnya "Poros Tengah" yang digawangi Amien Rais menimbulkan hura-hara, bakar-bakaran dari pendukung dan simpatisan yang kecewa dan tidak terima "manuver politik" lawan politik Mbak Mega.
Dengan karakter keibuan, Mbak Mega tampil menenangkan pendukung dan simpatisannya di seluruh tanah air agar tetap tenang dan menerima keputusan politik dengan legowo.
Megawati Soekarnoputri atau Mbak Mega memerankan diri seperti sebuah "Payung" agar bangsa dan negara terhindar dari pertumpahan darah, perpecahan dan keruntuhan bangsa dan negara.
KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memilih tidak melakukan perlawanan ketika dimakzulkan dari tampuk kekuasaan (presiden) sekalipun kekuatan pendukung dan simpatisan masih sangat kuat untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan ketika itu.
Gus Dur memilih sebagai sebuah "Payung" untuk menghindari pertumpahan darah, perpecahan bangsa dan negara daripada mempertahankan dan melanggengkan sebuah kekuasaan di negeri ini.
Joko Widodo atau Jokowi mengakomodasi dan mengangkat Prabowo Subianto-Sandiaga Solahuddin Uno sebagai menteri (pembantunya) untuk menghindari ketegangan politik dan perpecahan bangsa dan negara pasca Pilpres 2019.
Padahal Prabowo Subianto-Sandiaga Solahuddin Uno, rival politik bubuyutan pada Pilpres 2019 dihiasi segala fitnah, hoax, ujaran kebencian, hasut, hujat, provokasi, agitasi, kampanye hitam, merendahkan dan menyepelekan kemampuan serta menyerang privasi dan keluarga dengan amat sangat kasar, kejam, keji dan biadab.
Pasca Pilpres Jokowi memosisikan diri "Payung" melindungi, memagari, mengayomi seluruh rakyat Indonesia dengan kata-kata bijak dan cerdas, Tidak ada lagi Kubu 01 dan 02 yang ada 03 "Persatuan Indonesia" sebagaimana termaktub pada Sila Ketiga PANCASILA..
Model kepemimpinan tak pernah ada di dunia mengakomodasi rival kontestasi politik kalah pada (Pilpres) sesungguhnya sebuah terobosan politik mutahir dari seorang Jokowi lahir dari rahim rakyat marjinal bumi Nusantara menjadi "role model" kepemimpinan diatas jagat raya.
Jokowi memosisikan diri sebagai sebuah "Payung" agar bangsa dan negara terhindar dari perpecahan, permusuhan, konflik harizontal sekalipun mendapat perlawanan keras dari pendukung, simpatisan fanatik di seluruh Indonesia.
Pemimpin otentik, pemimpin untuk semua memilih "TIDAK POPULER" ataupun dicaci maki, dihina, direndahkan, bahkan dilengserkan atau dimakzulkan dari tampuk kekuasaan demi menjaga keutuhan bangsa survival negara yang dicintai dari lubuk hati paling dalam pikiran paling jernih.
Pemimpin memosisikan diri sebagai "Payung" tak pernah cengeng, curhat, memelas apalagi menjadikan rakyat bemper mempertahankan, melanggenkan kekuasaan karena mereka sadar sesadar-sadarnya selaku "pelindung, pagar, pengayom" bagi rakyat yang dipimpin.
Jadi sangat aneh bin aneh bila ada pemimpin (keluarga, masyarakat, bangsa dan negara) meminta "dipayungi, dilindungi, dipagari, diayomi" rakyat yang dipimpin apalagi cengeng, curhat, memelas, dan cari alibi tak masuk akal menutupi ketidakmampuan atau kegagalan mengemban amanah kepercayaan publik.
Pemimpin sangat keliru besar dan sesat pikir selalu ingin dihormati, dihargai dengan berbagai penciteraan dan kamuflase diri apalagi merekayasa seolah-olah disakiti, dianyaya, dizomi sembari mempersonifikasi diri korban kekejaman pihak lain.
Pemimpin harus memayungi seluruh rakyat sebagaimana ditunjukkan Presiden Jokowi yang ditafsirkan dari berbagai sudut pandang, baik positif maupun negatif di ruang publik. (tum)
Penulis adalah pemerhati pembangunan dan sosial budaya