Oleh: Drs. Thomson Hutasoit
Perjalanan bangsa Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno-Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia telah dewasa dan matang (76 tahun-red) yang dirayakan 17 Agustus 2021 lalu.
Baca Juga:
Mama Dada Mu Ini Dada Ku
Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, UUD RI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Republik Indonesia (NKRI) adalah sebuah bangsa dan negara menganut prinsip kebangsaan Pluralistik-Multikultural agar hetrogenitas atau kebhinnekaan bumi Nusantara tumbuh berkembang di "Taman Sari Bangsa" dalam kesetaraan, keseimbangan, kesederajatan berbangsa- bernegara.
Keluhuran jiwa, kebesaran hati para pendiri bangsa (founding fathers) negarawan sejati melahirkan konsensus nasional (Nusantara-red) mengutamakan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan individu, kelompok, golongan, serta sektarian- primordial sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) serta politik identitas mampu menghadirkan karya besar, spektakuler, monumental keajaiban dunia.
Sebab, mempersatukan perbedaan, keragaman, kemajemukan atau hetrogenitas menjadi satu bangsa dan negara bukanlah hal yang mudah dan gampang.
Baca Juga:
Perseteruan Kandidat Penghuni Sorga
Tetapi para putera-puteri bumi Nusantara telah berhasil menghadirkan satu bangsa dan negara diatas fondasi kuat dan kokoh Pancasila, UUD RI 1945 untuk memayungi kebhinnekaan Indonesia.
Para pendiri bangsa (founding fathers) telah sefakat, berkonsensus memilih dan menetapkan bentuk negara republik, negara hukum (rechsstaat).
Bukan negara AGAMA, kerajaan atau negara kekuasaan (maatsstaat) agar terwujud equality before the law sesuai termaktub pada pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945 berbunyi; "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".
Negara Republik Indonesia telah dinahkodai (dipimpin-red) tujuh (7) Presiden Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, antara lain; Ir. Soekarno (Bung Karno), Jenderal Bintang lima (5) Soeharto, Prof. Dr. Ing. B. J. Habibie, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri (Mbak Mega), Jenderal Prof. Dr. Susilo Bambang Yudoyono (SBY), Ir. Joko Widodo (Jokowi) telah berupaya keras menjalankan roda pemerintahan sesuai kemampuan dan/atau plus-minus masing-masing.
Para pendiri bangsa dengan segala kesadaran murni telah memilih mendirikan sebuah republik, bukan kerajaan, yang tunduk pada hukum, bukan kepada kekuasaan karena itu Republik Indonesia disebut negara hukum.(rechtsstaat).
Yang menjadi pertanyaan adalah negara hukum yang mana....??? Apakah negara hukum agama...??? Tentu tidak.....sekali lagi tidak....!!!
Karena Republik Indonesia bukan negara agama, tetapi negara beragama sesuai Sila Pertama Pancasila KETUHANAN YANG MAHA ESA. Bukan agama yang maha eka.
Negara Republik Indonesia berdasarkan hukum dasar tertulis (UUD RI 1945), dan hukum dasar tak tertulis (hukum adat/adat recht) tumbuh subur di bumi Nusantara (Indonesia-red).
Hal itu bisa dibaca terang-benderang pada pasal 1 ayat (3) UUD RI 1945 berbunyi; "Negara Indonesia adalah negara hukum", dan pasal 18B ayat (2) UUD RI 1945 berbunyi; "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang".
Negara Republik Indonesia yang lahir dan dimerdekakan dari "RAHIM" Masyarakat Hukum Adat (MHA) tentu haruslah meletakkan seluruh produk hukum nasional berdasarkan nilai-nilai luhur adat budaya Nusantara agar mencerminkan karakter, jati diri rakyat Nusantara (Indonesia-red) dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote untuk menjamin keadilan substantif holistik dalam berbangsa- bernegara.
Tapi sayang, hukum adat bumi Nusantara tidak maksimal dijadikan fondasi hukum nasional, bahkan telah direduksi nilai-nilai budaya luar ataupun hukum agama yang menimbulkan diskriminasi, ketidakadilan, pelanggaran hak keperdataan tradisional Masyarakat Hukum Adat (MHA) sangat menyedihkan dan memilukan bias dan menyimpang dari nurani keadilan dari waktu ke waktu.
Negara dilahirkan dan dimerdekakan Masyarakat Hukum Adat (MHA) seharusnya tidak boleh menyakiti, menganyaya, merampas, merampok hak keperdataan tradisional diwarisi turun-temurun ratusan tahun sebelum merdeka seperti "anak durhaka" yang tega mengkhianati ibu yang melahirkannya.
Muncul hukum jaring laba-laba, hukum tebang pilih, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, pasal karet dan multitafsir, kebal hukum, politisasi hukum, dll akibat tarik-menarik kepentingan politik kontemporer insidental menimbulkan pertanyaan "QUOVADIS INDONESIA PASCA 76 TAHUN MERDEKA...???".
Peraturan perundang-undangan (UU, Perda) bersifat sektarian-primordial (Syariah dan darah) bermunculan bagaikan jamur di musim hujan pasca bergulirnnya reformasi 1998 membuat republik ini semakin dipersimpangan jalan dan tak jelas arah berhukumnya.
Pertanyaan itu amat sangat relevan mengingat perjalanan negeri ini disesaki dinamika, romantik, pernak-pernik tarik- menarik kepentingan politik membuat dada sesak, kecemasan, kekhawatiran akan timbul potensi ancaman laten keutuhan bangsa dan survival negara dari reinkarnasi orang dan/atau kelompok masih ingin mencari bentuk negara mengganti, merubah yang telah disepakati para putera-puteri terbaik berjiwa negarawan sejati yang mendahulukan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan individu, kelompok, golongan, partai politik sebagaimana dipertontonkan akhir-akhir ini.
Keinginan kuat Majelis Permusyawaratan Rakya Indonesia (MPR RI); DPR RI dan DPD RI melakukan Amandemen ke V UUD RI 1945 secara terbatas yang disampaikan pada Sidang MPR RI 16 Agustus 2021 terutama meletakkan Pedoman Penyelenggaraan Negara Republik Indonesia (PPNRI) atau apapun namanya harus bisa menjawab pertanyaan "QUOVADIS INDONESIA PASCA 76 TAHUN MERDEKA..???" agar bangsa ini memiliki "Peta Jalan (Rod Map)" untuk minimal 50 tahun ke depan agar negeri tidak berkutat pada debat kusir tak produktif.
Dengan adanya "Peta Jalan (Rod Map)" jelas, tegas, dan terang-benderang maka suksesi kepemimpinan nasional (presiden-red) siapapun presiden terpilih tidak sesuka hati, sesuai selera, seenak perut membuat visi-misi tak sesuai konstitusi dan Pedoman Penyelenggaraan Negara Republik Indonesia telah disefakati seluruh anak bangsa.
Kesinambungan pembangunan, baik fisik maupun non fisik dari satu rezim pemerintahan ke rezim pemerintahan akan terjamin berlangsung dengan semestinya.
Pemikiran cerdas, brilian, jenial Bung Karno dalam Ajaran TRI SAKTI; Berdaulat dalam politik, Berkepribadian dalam kebudayaan, Berdiri Diatas Kaki Sendiri (Berdikari) dalam ekinomi, membangun dan mewujudkan INDONESIA RAYA, INDONESIA HEBAT, INDONESIA MAJU, INDONESIA ADIDAYA perlu dijabarkan dalam langkah-langkah konkrit, terencana, terprogram, terpadu, terintegrasi, dan berkesinambungan.
Karena itu, dituntut jiwa kenegarawanan sejati dari segenap anggota MPR RI (DPR RI, DPD RI) yang mampu melepas dan meninggalkan kepentingan parsial masing-masing demi kepentingan bangsa dan negara sebagaimana dicontohkan para pendiri bangsa (founding fathers) ketika mendirikan republik Indonesia di masa lalu.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta MPR RI (DPR RI, DPD RI) periode 2019-2024, dan stakeholders bangsa dan negara harus beraksioma, berikhtiar meninggalkan "LEGACY" mampu meletakkan "Peta Jalan (Rod Map)" pembangunan nasional jelas dan pasti bagi suksesor selanjutnya yang akan ditulis tinta emas sejarah bangsa warisan generasi ke generasi.
Bangkitlah negarawan-negarawan sejati melanjutkan "Revolusi Belum Selesai" sebagaimana pesan Bung Karno "Ku Titipkan Bangsa ini Kepada mu". BRAVO INDONESIA....!!! BRAVO PRESIDEN JOKO WIDODO (JOKOWI)...!!! BRAVO MPR RI (DPR RI, DPD RI)....!!! DIRGAHAYU KEMERDEKAAN RI KE 76...!!! HORAS....!!! SALAM BHINNEKA TUNGGAL IKA.....!!! (tum)
Penulis adalah pemerhati pembangunan dan sosial budaya