Jakarta, Wahana News Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menandatangani perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter di Bernerhof Bern, Swiss, Senin, 4 Februari 2019, waktu setempat.
MLA adalah Mutual Legal Assistance. Ini sebuah kerjasama resmi antara pemerintah Indonesia dan Swiss dalam memberantas korupsi dan memulangkan kembali hasil penjarahan korupsi.
Baca Juga:
Terkait Korupsi KA, Kejagung Periksa Tiga Mantan Kepala BTP Sumbangut
Swiss selama ini dikenal sebagai negara yang sangat ketat dalam menyimpan rahasia data rekeningnya. Itulah kenapa Swiss menjadi idola para koruptor bahkan bandar narkoba untuk menyimpan uang mereka disana.
Tahun 2016 lalu, Jokowi menyebut ada total 11.000 triliun rupiah uang dari Indonesia yang tersimpan di luar negeri. "Datanya sudah ada, nanti akan kami buka.." begitu dulu janjinya.Dan Jokowi terus melakukan upaya melobi pemerintah negara-negara tax haven, termasuk Swiss. Selain dengan Swiss, Indonesia bekerjasama dengan negara seperti Hongkong, Iran, sampai China. Dia terus memburu dimana saja uang itu berada dan mengusahakannya supaya uang-uang itu kembali ke tanah air.
Tapi sekarang tidak lagi. Swiss mulai membuka dirinya bekerjasama dengan pemerintah beberapa negara, melacak rekening koruptor yang disimpan disana dan mengembalikannya. Dan ini bom atom yang meledak di telinga para koruptor yang selama ini aman menyimpan uangnya disana.
Baca Juga:
Korupsi Tata Niaga PT Timah, 3 Eks Kadis ESDM Babel Dituntut 6 Hingga 7 tahun Penjara
Menkumhan Laoly mengatakan bahwa Perjanjian MLA ini dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan.
Perjanjian yang terdiri dari 39 pasal itu mengatur ihwal bantuan hukum pelacakan, pembekuan, dan penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan.Yasonna H Laoly berujar perjanjian itu merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya.Pemerintah Indonesia, kata Yasonna, juga mengusulkan agar perjanjian itu bersifat retroaktif. Prinsip ini memungkinkan aparat untuk menjangkau tindak pidana yang telah terjadi sebelum adanya perjanjian, sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.Penanda-tanganan ini berlangsung alot dan bertahun-tahun. Sebab, "Swiss sangat menjaga keamanan dan kerahasiaan sistem perbankan mereka," kata dia.
"Dengan MLA kita bisa minta bantuan pemerintah Swiss mengusut proceeds of crime oleh WNI yang disimpan di Swiss."Duta Besar RI untuk Swiss, Muliaman D Hadad menyebut perjanjian itu merupakan capaian kerja sama bantuan timbal balik pidana yang luar biasa.
Dia menegaskan penandatanganan MLA ini menggenapi keberhasilan kerja sama bilateral Indonesia-Swiss di bidang ekonomi dan sosial budaya.Sebelum kesepakatan ini diteken, pemerintah Indonesia dan Swiss telah berunding dua kali. Perundingan pertama terjadi di Bali pada 2015, sedangkan yang kedua pada 2017 di Bern, Swiss.Menurut Muliaman, penandatanganan MLA ini sejalan dengan Nawacita dan arahan Presiden Joko Widodo, terutama menyangkut platform kerja sama hukum untuk pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil korupsi.
Indonesia adalah negara kesepuluh di Asia yang menandatangani perjanjian MLA dengan Swiss. "Ini adalah follow up pidato presiden pada peringatan hari korupsi sedunia tahun lalu."
Tidak mudah melobby negara-negara itu, terutama Swiss. Tetapi puncaknya, pada Senin 4 Februari, resmilah kerjasama Indonesia dan Swiss dalam pelaksanaan kerjasama MLA ini.Langkah berikutnya yang dilakukan Jokowi dan koalisinya adalah menguasai Senayan, supaya kerjasama ini bisa diratifikasi agar bisa menjadi alat bagi aparat untuk memburu harta-harta itu keluar negeri. (Whn1)