WahanaNews-Sumut I Para aktivis lingkungan di Sumatera
Utara yang terdiri dari berbagai elemen dan gabungan serikat buruh Indonesia (GBSI)
menyoroti sistim penggajian dan jam kerja Buruh Harian Lepas (BHL) yang dipekerjakan PT Toba
Pulp Lestari (TPL) Tbk.
Baca Juga:
Dugaan TPL Buka Lahan di Hutan Alam, Menteri KLH Segera Check
Dalam press rilis yang diterima sumut.wahananews.co Kamis,
(19/08/2021) organisasi pemerhati lingkungan di Sumut, KSPPM, Aman Tano Batak,
BAKUMSU, Walhi Sumut, Aliansi Gerak Tutup TPL dan DPD GBSI Sumut menyebut "Kerja Perbudakan di
Perkebunan Kayu Toba Pulp Lestari, TPL Mendulang Untung Dari Sistem kerja Buruh
Harian Lepas".
Lebih lanjut diuraikan, melalui izin penguasaan tanah dan
hutan adat seluas 167.912 Ha, PT TPL melakukan eksploitasi alam kawasan danau
toba dan menerapkan praktek kerja perbudakan dan berwatak eksploitatif atas
7.000 tenaga manusia yang disebut sebagai Buruh Harian Lepas (BHL).
Baca Juga:
Menteri LHK Akan Evaluasi Keberadaan PT TPL dan Food Estate di Tano Batak
Istilah ini bukan sekedar penyebutan, lebih semacam
pengkastaan (pembeda) status sosial dan stigma golongan buruh rendahan, yang
seolah pantas mendapatkan beban kerja yang berat dengan cara kerja dan alat
kerja yang tradisional, sehingga pantas pula diperlakukan tanpa jaminan
kesejahteraan dengan menerima upah murah, tanpa perlindungan kerja dan
fasilitas penunjang hidup yang rendah.
Tak heran, korelasi dari praktek sisitim kerja yang buruk
ini menjadi sumber (laba) keuntungan bagi TPL, sebagaimana TPL mencatatnya
dalam Annual Report Tahun 2020 bahwa hasil penjualan bersih mencapai USD
126.023 juta atau sebesar Rp 1,8 Trilliun (nilai tukar rupiah seharga Rp.
14.529 per dollar rerata ditahun 2020). Skema eksploitatif dari sistem kerja
perbudakan yang dipraktekkan TPL di era masyarakat modern ini, diantaranya :
Mereka yang berstatus buruh harian lepas (BHL) menerima
beban kerja melalui perusahaan sub kontraktor-sub kontrak yang berjumlah
sekitar 46 - 49 unit badan usaha yang menjadi mitra PT TPL dalam melakukan
pekerjaan borongan di area produksi seluas 70.074 Ha. Luasan area produksi ini
dikerjakan oleh 7.000 BHL, maka secara tidak langsung tiap-tiap BHL menerima
tanggung jawab beban pekerjaan seluas 10 Ha. Projek penanaman dan perawatan ini
digarap secara simultan seluas 14.000 per tahunnya atau sekitar 23.338.000
pohon.
Sehingga dapat memproyeksi hasil panen kayu log sekitar
1.937.054 - 1.960.000 ton dalam setahun, dengan nilai panen berkisar Rp. 1,2
Trilliun bila disesuaikan dengan harga kayu Log eukaliptus sebesar Rp. 650.000
per ton yang telah dicatatkan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
Upah yang dibayarkan oleh TPL dalam setahun, tidak sebanding dengan total nilai
hasil panen kayu log tersebut.
Dibawah intervensi sistem kerja target, ke 7.000 orang BHL
ini hanya menerima upah murah dan jauh dibawah ketentuan UMK bahkan lebih jauh
dari nilai hasil kerjanya. Upah per hari dibayar melalui Sub Kontraktor sebesar
Rp. 80.000 - Rp. 85.000 dan yang diterima tidak lebih dari Rp. 2.000.000 per
bulan dengan 25 hari kerja atau sekitar Rp. 24.000.000 dalam setahun dan bila
dikalikan dengan jumlah seluruh BHL maka total pembayaran upah dalam setahun
berkisar Rp. 168 Milliar.
Namun mereka sangat sulit mendapatkan upah segitu,
disebabkan oleh hujan atau sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
Situasi sulit tersebut, menyebabkan mereka hanya menerima upah rata-rata berkisar
Rp. 1.800.000 per bulan.
Hal terperah dialami oleh BHL yang bekerja di proyek Pemanenan
(penebangan), tiap ton hasil kayu log hasil tebang hanya dibayarkan sebesar Rp.
10.000 (data pada tahun 2017). Dalam
sehari mereka dapat memanen sebanyak 25 ton, dengan upah sebesar Rp. 250.000.
Namun jam kerja mereka berkisar 12 - 14 jam sehari, bahkan
hingga Pukul 03.00 Wib baru berhenti kerja dan esok paginya kembali lagi
bekerja. Sebagian BHL pemanen ini, menghabiskan kehidupannya dibawah tenda.
Tinggal dan tidur berminggu-minggu di bawah tenda plastik yang mereka buat
dengan ala kadarnya, dengan cara nomaden seiring semakin jauhnya jangkauan area
penebangan, dan diantara mereka ada yang membawa istri dan anak-anaknya
sekaligus.
Rendahnya upah yang diterima, tidak sebanding dengan biaya
pemenuhan kebutuhan hidup. Rata-rata anggota rumah tangga BHL sebanyak 4 orang
dengan total pengeluaran kebutuhan hidup yang teramat rendah yang berkisar Rp
2.768.500, tidak termasuk tanggungan biaya sekolah anak tingkat SMP dan SMA.
Kenyataan ini membuat BHL tidak meletakkan arti penting
pemenuhan kalori dan gizi, mereka senantiasa mengkonsumsi daun singkong yang
dipungut dari pekarangan rumah dan dengan lauk yang teramat rutin seperti ikan
asin, bahkan mie instan pun mereka jadikan lauk makan.
Mereka telah memaksakan diri untuk berhemat, pun begitu
mereka tetap mengalami defisit. Bahkan untuk kebutuhan beras pun, mereka
adakalanya mengutang ke Sub Kontraktor. Situasi ini, mengharuskan BHL mesti
bekerja suami dan istri di perkebunan kayu tersebut, serta memperpanjang jam
kerjanya dengan menggunakan hari libur menjadi buruh upahan dilahan pertanian
masyarakat asli.
Disamping itu, para BHL tidak menerima hak-hak lainnya
selain upah murah. Mereka tidak mendapatkan Tunjungan Hari Raya (THR), bonus
dari capaian target produksi atau insentif maupun tunjungan-tunjungan lainnya.
Mereka juga tidak terlindungi sebagai peserta BPJS Kesehatan
dan sebagian BHL cukup didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Mereka
tidak pernah mendapatkan hak cuti tahunan, cuti mengkitankan/membaptiskan anak,
cuti lebaran, cuti karena ada keluarga meninggal dunia, serta cuti-cuti
sebagainya. Bahkan BHL perempuan pun tidak mendapatkan cuti haid, cuti hamil
dan melahirkan serta cuti keguguran. Hari libur nasional mereka diperintahkan
tidak bekerja, tetapi upah tidak dibayar. Anak-anak BHL tidak mendapatkan
fasilitas bantuan sekolah dari TPL, dan sebab itu rerata anak-anak BHL putus
sekolah setelah tamat dibangku sekolah dasar. TPL juga tidak menyediakan sarana
tempat penitipan anak dan bermain, sehingga anak-anak mesti ditinggalkan di
rumah (dibarak) ketika ayah dan ibunya bekerja.
BHL dan keluarganya diberi tempat tinggal, namun tidak
pantas disebut rumah dan layaknya disebut barak. kondisinya "sangat-sangat jauh
dari kata sederhana". Barak ini berdinding papan kusam, lantai semen, atap seng
berkarat, tanpa kamar dan tempat tidur serta tanpa dapur dan kamar kakus (WC).
Ukuran barak berkisar 4 x 5 meter dan berbatas sebelah dinding papan antar
tetangga. Bila ingin memiliki kamar dan tempat tidur, dapur dan kamar kakus
(WC), buruh harus menabung untuk membangunnya dan tak mungkin didapatkan secara
gratis.
Kamar mandi berdinding seng karat, terbuka tanpa atap dan
berada sekitar 15 meter dari barak. Persisnya disamping bawah badan jalan, yang
selalu dilalui orang. Bila orang lewat menoleh kesamping, maka terlihatlah
orang didalam kamar mandi tersebut. Air mandi dialiri melalui pipa yang
terhubung ke seberang jalan, bukan bersumber dari air sungai atau mata air, tetapi
kolam ukuran 20 x 20 meter yang dibuat oleh Sub Kontraktor menjadi genangan
air. Meteran listrik dipasang 1 untuk 4 unit barak, dibayar buruh secara
patungan sebesar Rp. 50.000/bulan per unit. Di barak, BHL tidak memiliki
Televisi, musik, radio atau sepeda motor. Peralatan memasaknya pun biasa,
jarang dari mereka yang memiliki rice cooker dan kompor gas. Kuali, piring dan
cangkir sekedarnya dan ada yang menggunakan periuk serta kayu sebagai bahan
bakar memasak.
Rendahnya upah yang diterima BHL, tak luput pula dari
pemotongan serta denda, perampasan upah buruh ini terjadi dalam hal :
(1).Pembayaran premi BPJS ketenagakerjaan bagi BHL yang menjadi peserta maupun
tidak, (2). Bila ada pohon eukaliptus yang mati terpapar racun hama dipotong
upah sebesar Rp. 50.000 per pohon, (3). Bila mangkir (tidak masuk) kerja selain
upah tidak dibayar dan upah yang ada pun dipotong, (4). Pembelian perlengkapan
kerja, Baju kaos lengan panjang, topi, sarung tangan dan sepatu bot. Untuk Helm dan kaca mata kerja yang menjadi kebutuhan
BHL, tidak disediakan perusahaan. (5). Pengeluaran biaya listrik dan fasilitas
rumah, seperti pembuatan kamar dan tempat tidur serta kamar kakus (WC).
Hal tersebut membuktikan bahwa PT. TPL tidak memberikan
manfaat nyata dalam meningkatkan perekonomian buruh serta menguatkan nilai
peredaran uang dimasyarakat sekitar area konsesi. Dibalik stigma penyebutan BHL
ini, menjadi semacam legitimasi bagi TPL untuk memisahkan status sosial antar
pekerja "mana yang pantas mendapatkan perlindungan hak dan mana yang tidak
pantas dilindungi haknya". Sehingga dengan sistem BHL ini, TPL terus mendulang
laba yang super dan para BHL direndahkan harga dirinya dan kehilangan
kepercayaan diri untuk berinteraksi sosial dimasyarakat sekitar pemukiman
baraknya.
PT TPL Tidak Layak dapat Sertifikasi
Sebagaimana dalam Annual Report tahun 2020, TPL mendapatkan
penghargaan dan sertifikasi. Secara
tegas kami mengatakan, bahwa TPL tidak layak mendapatkan penghargaan dan
sertifikat, ketika masih eksis melestarikan sistem kerja eksploitatif sisa-sisa
warisan kekuasaan tuan budak diperkebunan kayu eukaliptusnya. Presiden Republik
IndonesiaI Bapak Ir. Joko Widodo untuk mencabut dan mengambil kembali berbagai
macam penghargaan dan sertifikasi yang diberikan.
Berangkat dari niat yang tulus dan keinginan yang mulia, dengan
tujuan memperjuangkan hak-hak 7.000 buruh yang bekerja diperkebunan kayu
eukaliptus PT TPL agar bebas dari stigma sebagai buruh harian lepas (BHl) dan
mendapatkan hak-hak yang semestinya diberikan berdasarkan peran serta dan hasil
kerjanya. Dengan demikian Pers Rilis ini kami buat dan disampaikan.
Senada sebagaimana yang disampaikan oleh Siti Rubadiah Ketua
Suluh Perempuan bahwa Perbudakan di perkebunan bukanlah hal yang baru. Praktik
ini sudah ada sejak masa kolonial belanda. Jika Indonesia di era kemerdekaan
yang sudah berumur 76 tahun masih ada perusahaan yang melakukan praktek
perbudakan, dalam hal ini Toba Pulp Lestari merupakan sesuatu yang ironis. Hal
ini bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan yang diimpikan para founding
father Indonesia.
"Setelah saya membaca
hasil investigasi yang dilakukan oleh DPD GSBI Sumatera Utara, kemudian saya
memahami bagaimana keberadaan PT TPL secara nyata merugikan banyak orang
khususnya buruh harian lepas. Bagi kami dari KSN, Protelarisasi yang dilakukan
oleh PT. TPL adalah sesuatu yang tidak mengejutkan akan tetapi harus kita
pahami bahwa tanpa perlawanan, praktik perbudakan ini akan semakin subur dan
sebagai bagian dari oligarkhi, PT. TPL akan tetap menari-nari diatas
penderitaan rakyat," ungkapk Hermawan Sutantyo Ketua Nasional Konfederasi
Serikat Nasional.
PT. TPL Langgar HAM
Hal yang sama disampaikan oleh Usman Hamid Direktur
Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia.
"Apa yang disajikan dalam investigasi ini bagi saya pribadi,
cukup mencengangkan. Begitu banyak pelanggaran HAM yang dialami oleh BHL dan
keluarganya oleh PT.TPL. lebih lanjut, laporan ini sebaiknya dilanjutkan ke
lembaga-lembaga Negara seperti KOMNAS HAM agar dapat dilanjutkan dengan
penyelidikan resmi agar dapat segera ditindaklanjuti," katanya.
"Saya ingin menyampaikan bahwa laporan ini juga diteruskan
ke forum-forum Internasional. Saya menyarankan untuk menyampaikannya ke komite
ekonomi sosial budaya, sebuah komite HAM di PBB," lanjutnya.
Didalam banyak praktek bisnis yang melaksanakan perbudakan
di berbagai Negara di dunia, bisnis dengan praktek perbudakan adalah bisnis
yang sangat menguntungkan. Jadi yang harus dipertanyakan adalah moralitas dari
keuntungan itu. Apakah praktik bisnis di masa ini adalah praktik bisnis yang
beretika? Apakah praktik bisnis ini berkomitmen untuk menghormati dan
melindungi HAM? Berkomitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup?
"Ini bukan buruh harian lepas, ini adalah perbudakan.
Sebagaimana sudah diatur dalam peraturan-peraturan ketenagakerjaan. Dari
laporan investigasi dan apa yang disampaikan oleh kawan-kawan sebelumnya, saya
melihat belum ada kehadiran pemerintah dalam mengawasi masalah-masalah
ketenagakerjaan dalam praktik bisnis PT TPL," ujarnya.
"Cara TPL merekrut dan menggunakan BHL dengan
bungkus CV, Usaha Dagang, dll Ini sudah melanggar Undang Undang. Ini sudah
mengarah pada perdagangan manusia" pungkas Gindo Nadapdap seorang Advokat
yang berkecimpung dalam perburuhan. (tum)