WahanaNews-Sumut I Mantan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI), Sahala Aritonang, SH.,AM.Pd, menegaskan bahwa Guru dan
Dosen Swasta itu termasuk pekerja atau Buruh.
Baca Juga:
Menko Airlangga: Manfaat UU Cipta Kerja Tarik Investasi dan Dukung UMKM
Sehingga dalam sengketa hukum PHI, diatur dalam UU
Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 atau saat ini diatur dalam UU No 11 tahun
2020 tentang Cipta Kerja, bukan UU Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sahala Aritonang yang menjadi Hakim atas usulan Federasi
Serikat Pendidikan, Pelatihan dan Industri afiliasi dari Konfederasi Serikat
Buruh Seluruh Indonesia (FESDIKARI-KSBSI) menyatakan ketegasan itu dalam sebuah Surat Terbuka
untuk Pegawai, Guru dan Dosen Swasta serta Pemerintah.
Baca Juga:
Berdiri Di Jambi IHCS Adakan Peresmian dan Dialog Publik
"Hubungan kerja pegawai, guru dan dosen swasta tidak
diatur dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, tidak diatur dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional, dan tidak diatur dalam Undang-Undang Guru dan
Dosen, akan tetapi, diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Cipta Kerja, dan Undang-Undang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial." sebut Sahala saat konferensi Pers Surat
Terbuka ini di Kantor Pusat KSBSI, Senin (23/8/2021).
Ditegaskan, dengan berlandaskan hukum tersebutlah apabila
terjadi sengketa, perkara atau perselisihan hubungan kerja antara pegawai, guru
dan dosen swasta dengan pihak yayasan, maka yang berwenang mengadili adalah
Pengadilan Hubungan Industrial.
"Bukan Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan Pengadilan
Negeri, bukan Pengadilan Agama, dan bukan Pengadilan Militer," tandasnya.
Simak selengkapnya Surat Terbuka Sahala Aritonang, mantan
Hakim Adhoc pada Pengadilan PHI di Tanjung Karang, Lampung, sebagai berikut:
SURAT TERBUKA: Assalamu"alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam
Sejahtera Bagi Kita Semua, Oom Swastiastu, Yang Terhormat: Bapak/Ibu Para
Pegawai, Guru dan Dosen Swasta, di Seluruh Indonesia.
Dengan hormat, Saya Sahala Aritonang, Mantan Hakim Ad Hoc
Pengadilan Hubungan Industrial Tanjungkarang, yang telah melaksanakan tugas
negara selama 2 periode sejak Tahun 2010 s/d 2020.
Untuk menjadi Hakim, saya diusulkan oleh Federasi Serikat
Pendidikan, Pelatihan dan Industri - Konfederasi Serikat Buruh Seluruh
Indonesia yang disingkat dengan FESDIKARI-KSBSI.
Untuk saat ini saya kembali berprofesi sebagai Advokat, dan
apabila tidak ada rintangan atau halangan, dalam waktu dekat ini saya akan
kembali menjadi Pengurus Fesdikari-KSBSI.
Bapak/Ibu yang saya hormati,
Selama ini, masih banyak yang belum mengenal Fesdikari, dan
masih banyak Guru dan Dosen yang mengatakan Fesdikari adalah organisasi yang
tidak jelas.
Perlu saya tegaskan bahwa Fesdikari adalah organisasi resmi
berbadan hukum yang keberadaannya telah diakui oleh Pemerintah Republik
Indonesia maupun Internasional.
Fesdikari sudah tercatat di Depnakertrans Nomor:
411/IV/M/VIII/2003 tanggal 29 Agustus 2003, dan berafiliasi kepada KSBSI,
sedangkan KSBSI berafiliasi kepada International Trade Union Confederation yang
berpusat di Brussel, dan aktif dalam mengikuti agenda ILO, yaitu Organisasi
Perburuhan Internasional satu-satunya Lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa yang
diisi oleh Perwakilan Tripartit, Pemerintah, Pengusaha dan Buruh.
Apakah pegawai, guru dan dosen termasuk pekerja/buruh?
Pasal 6 Undang-Undang Aparatur Sipil Negara menyatakan,
Pegawai ASN terdiri dari PNS dan PPPK, selanjutnya dalam Pasal 126 ayat (1)
dinyatakan bahwa Pegawai ASN berhimpun dalam wadah Korps Profesi Pegawai ASN
Republik Indonesia.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Pegawai, Guru dan Dosen
PNS maupun PPPK tidak termasuk pekerja/buruh. Sehingga tidak diperbolehkan
untuk menjadi anggota maupun Pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Dalam Undang-Undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Cipta Kerja, dan Undang-Undang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dinyatakan bahwa Pekerja/Buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, menyatakan serikat pekerja/serikat buruh adalah
organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan
maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis,
dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pegawai, guru dan dosen
swasta termasuk pekerja/buruh. Sehingga tidak ada larangan untuk menjadi
anggota maupun Pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh, akan tetapi tidak
diperbolehkan menjadi anggota Korps Pegawai ASN karena bukan Pegawai Aparatur
Sipil Negara.
Apakah yayasan termasuk perusahaan ?
Bahwa Undang Undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang
Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Cipta Kerja, serta Undang Undang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, menyatakan:
Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka yayasan
termasuk perusahaan.
Bapak/Ibu yang saya hormati,
Hubungan kerja pegawai, guru dan dosen swasta tidak diatur
dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, tidak diatur dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional, dan tidak diatur dalam Undang-Undang Guru dan
Dosen, akan tetapi, diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Cipta Kerja, dan Undang-Undang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
Dengan berlandaskan hukum tersebutlah apabila terjadi
sengketa, perkara atau perselisihan hubungan kerja antara pegawai, guru dan
dosen swasta dengan pihak yayasan, maka yang berwenang mengadili adalah
Pengadilan Hubungan Industrial, bukan Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan
Pengadilan Negeri, bukan Pengadilan Agama, dan bukan Pengadilan Militer.
Bapak/Ibu yang saya hormati,
Janganlah menuntut yang berlebihan kepada pengurus yayasan. Apabila
kita menuntut yang berlebihan, sedangkan keuangan yayasan tidak mampu, maka
sama saja kita menginginkan agar sekolah maupun perguruan tinggi yang dikelola
yayasan tersebut supaya tutup.
Kemudian bagaimana caranya: Kita semua sudah mengetahui,
bahwa dalam penyusunan APBN maupun APBD diwajibkan sebesar 20 % harus dialokasikan
untuk sektor pendidikan.
Yang menjadi pertanyaan: Apakah alokasi anggaran sebesar 20
% dari APBN dan APBD tersebut sudah berkeadilan bagi Para Pegawai, Guru dan
Dosen Swasta ?.
Jawabannya, marilah kita menjawab dalam hati sanubari kita
sendiri.
Menurut pendapat saya, bantuan pemerintah yang dialokasikan
untuk kesejahteraan, sebaiknya bagi yang berstatus Pegawai Negeri Sipil
dikelola oleh Kementerian Pendidikan Nasional, sedangkan bagi Guru dan Dosen
Swasta dikelola oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Karena Guru dan Dosen Swasta
tidak termasuk Pegawai Aparatur Sipil Negara, akan tetapi termasuk
Pekerja/Buruh.
Bapak/Ibu yang saya hormati, Selama ini, masih banyak Guru
dan Dosen Swasta yang tidak bersedia ataupun takut untuk menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh. Apakah karena disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa
?
Menurut pendapat saya, bahwa guru dan dosen adalah pahlawan
yang sangat berjasa bagi nusa dan bangsa. Karena tanpa guru dan dosen tidak
akan ada dokter, tidak akan ada sarjana dan tidak akan ada pejabat negara, yang
ada adalah menjadi rakyat jelata dan akan dijajah oleh para penjajah.
Bapak/Ibu Para guru dan dosen swasta yang saya hormati,
janganlah takut menjadi anggota atau menjadi Pengurus Serikat Pekerja/Serikat
Buruh. Karena, sudah ada perlindungan hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 43
Undang-Undang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, yang menyatakan:
Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa
pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak
menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau
menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh,
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.100 juta,- dan paling banyak
Rp.500 juta,-
Apabila ada hal-hal yang kurang jelas dari uraian-uraian
tersebut diatas, dapat menghubungi: 081386762686, atau email: [email protected]. Demikian
saya sampaikan, atas perhatiannya saya mengucapkan terima kasih.
Sahala mengatakan, selama menjadi Hakim, pernah menangani
sengketa hubungan industrial yang dialami Kepala Sekolah dan seorang Guru di
sekolah Internasional. (tum)