Sumut.WAHANANEWS.CO - Fenomena keruhnya air Danau Toba yang sempat viral di media sosial pada 20 Juli 2025, tepat saat proses revalidasi Toba Caldera UNESCO Global Geopark berlangsung, menjadi tamparan bagi upaya pelestarian kawasan strategis nasional tersebut.
Bagi organisasi relawan nasional MARTABAT Prabowo-Gibran, kejadian ini adalah alarm keras yang tak boleh lagi diabaikan.
Baca Juga:
Info Keberangkatan Kapal Tradisional Dari Kabupaten Samosir
Ketua Umum MARTABAT Prabowo-Gibran, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa peristiwa itu menunjukkan masih rapuhnya daya dukung lingkungan Danau Toba akibat praktik perambahan hutan dan pembalakan liar yang terus berlangsung di tujuh kabupaten sekitar danau.
“Jika tujuh pemerintah daerah tidak segera menghentikan pembalakan liar, maka status green card yang baru saja diraih Geopark Toba bisa sewaktu-waktu terancam,” ujar Tohom, Senin (19/8/2025).
Ia menambahkan, status green card dari UNESCO bukanlah sekadar sertifikat prestisius, melainkan pengakuan internasional yang membawa dampak luas terhadap pariwisata, investasi, hingga reputasi Indonesia di mata dunia.
Baca Juga:
Jadwal Penyeberangan Kapal Ferry Ke Kabupaten Samosir
“Apalah artinya green card kalau hutan gundul, mata air mati, dan air danau kembali tercemar,” lanjut Tohom.
Menurutnya, fenomena keruhnya air Danau Toba tidak bisa semata-mata disalahkan pada cuaca ekstrem. Tohom menyebut ada faktor lain yang ikut memperparah kondisi, yakni rusaknya tata kelola lingkungan akibat deforestasi. “Alasan cuaca ekstrem bisa diterima, tapi kita tidak boleh menutup mata terhadap fakta adanya degradasi hutan. Itu akar persoalan yang harus segera dibereskan,” ujarnya lagi.
Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini mengatakan bahwa kerusakan lingkungan di Danau Toba harus dilihat dalam konteks tata ruang aglomerasi yang lebih luas.
Kawasan Danau Toba tidak bisa dipandang hanya sebagai destinasi wisata, melainkan juga sebagai pusat ekologi dan penyangga kehidupan jutaan orang. “Jika Toba rusak, maka seluruh aglomerasi Sumatera Utara akan terdampak, mulai dari pasokan air bersih hingga stabilitas ekonomi regional,” jelasnya.
Lebih jauh, Tohom mendesak agar tujuh kepala daerah di kawasan Danau Toba segera membentuk satgas khusus penanggulangan pembalakan liar, dengan melibatkan masyarakat adat dan aparat penegak hukum.
Ia mengungkapkan bahwa kolaborasi lintas sektor adalah kunci untuk menghentikan praktik ilegal yang telah berlangsung bertahun-tahun.
“Tanpa keberanian pemda untuk menindak tegas pelaku perambahan, jangan harap ada masa depan berkelanjutan untuk Danau Toba,” katanya.
Tohom juga mengingatkan, empat rekomendasi perbaikan dari UNESCO, mulai dari peningkatan edukasi berbasis riset hingga revitalisasi badan pengelola Geopark, tidak akan ada artinya jika kerusakan hutan terus dibiarkan.
“Green card bukan sekadar hadiah, melainkan amanah. Kalau kita abai, maka jangan salahkan dunia jika status itu dicabut kembali,” pungkasnya.
Dengan suara lantang, ia menutup pesannya: “Stop pembalakan liar sekarang juga. Selamatkan Toba bukan hanya untuk pariwisata, tetapi untuk generasi Indonesia yang akan datang.”
[Redaktur: Mega Puspita]