WahanaNews.co I Aliansi Gerakan Rakyat Tutup PT Toba
Pulp Lestari (TPL) menguraikan, sejak PT TPL dahulu bernama PT Inti Indorayon
Utama, hadir di Tano Batak Prov. Sumatera Utara Tahun 1983, sedikitnya sudah
mengkriminalisasi 50 orang warga Masyarakat Adat.
Baca Juga:
Bupati Pakpak Bharat Terima Bantuan Taman Dancing Fountain dari PT. TPL
Selain itu tindakan kekerasan, kriminalisasi, intimidasi oleh
pihak PT TPL kerap dilakukan terhadap masyarakat adat, yang berupaya
mempertahankan wilayah adatnya. Sehiggga tidak benar PT TPL menghormati Masyarakat
Adat. Demikian rilis berita yang diuraikan, Agustinus Simamora dari Aliansi
Gerakan Masyarakat Tutup PT TPL, kepada WahanaNews.co, Senin (24/05/2021)
Dalam uraiannya dituliskan, bentrokan yang terjadi di Desa
Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, pekan lalu, Selasa, 18/05/2021)
telah mengakibatkan 12 orang warga masyarakat mengalami luka-luka dan
berdarah-darah akibat tindak kekerasan oleh pihak pekerja PT TPL. Adapun dari
pihak pekerja, 2 orang luka-luka.
Baca Juga:
PT TPL Sektor Habinsaran Berikan 30.000 Bibit Kopi dan Adakan Pelatihan
Sejak Tahun 2013 hingga saat ini, sudah ada 50 orang
masyarakat adat dari komunitas adat yang mengalami kriminalisasi oleh PT TPL, yang tersebar di Kabupaten Humbang Hasundutan,
Tapanuli Utara, Toba Samosir dan Simalungun.
Selain 12 orang dari warga Natumingkan, ada 5 warga anggota
Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), Desa/Nagori
Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun.
2 orang anggota Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di
Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun.
5 orang Masyarakat Adat Keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak
di Desa Sabungan Ni Huta II Kecamatan Sipahutar Kabupaten, Tapanuli Utara.
5 orang Masyarakat Adat Huta Tornauli, Dusun Tornauli, Desa
Manalu Dolok, Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara.
16 orang warga wilayah Tombak Haminjon (hutan kemenyan)
di Dolok Ginjang, Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan.
Menurut catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Tano Batak, dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM)
Parapat, sudah terdaftar dan terverifikasi 25 Komunitas Masyarakat Adat di
Kawasan Danau Toba.
Antara lain data-data masyarakat yang menjadi korban
kekerasan dan kriminalisasi PT TPL/PT IIU (Inti Indorayon Utama) di Sumatera
Utara: (1). 12 orang dari Komunitas adat Huta Natumingka Pomparan Ompu Punduraham
Simanjuntak.
Awal tahun di bulan Januari 2021, pihak PT TPL
melaporkan 3 orang Masyarakat Adat Huta Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten
Toba dengan tuduhan, pengerusakan tanaman milik PT TPL.
Mereka yang dilaporkan atas nama Anggiat Simanjuntak, Pirman
Simanjuntak, dan Risna Sitohang. Polres Toba menetapkan merak tersangka.
Alasan penetapan tersangka oleh Polisi, karena ke-3 warga
itu dituduh melakukan dugaan tindak pidana pengrusakan di lahan yang diklaim PT
TPL.
(2). Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita
Sihaporas (Lamtoras). Pada 17 September 2019 tindakan kekerasan dialami
masyarakat adat Sihaporas, Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik,
Kabupaten Simalungun.
Saat itu, warga anggota Lembaga Adat Keturunan Ompu
Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) melakukan aktivitas bertani di
wilayah adat mereka.
Saat kejadian itu Thomson Ambarita dan Mario Teguh Ambarita
(anak usia 3 tahun 6 bulan) menjadi korban dari tindakan kekerasan oleh Bahara
Sibuea (Humas Sektor Aek Nauli) dan security PT TPL.
Thomson menjabat Bendara Umum Lamtoras dan Sekretaris Umum
Lamtoras Jonny Ambarita, dituntut ke muka hukum.
Keduanya mednapat vonis 9 bulan tahanan. Adapun Humas TPL
Bahara Sibuea, sampai Mei 2021 berstatus tersangka, namun tidak pernah ditahan
polisi. Proses persidangan pun belum mulai.
Sejak 2002, pihak TPL telah mengkriminalisasi 5 warga
Sihaparoas. Selain Thompson dan Jonny, tahun 2002 polisi menangkap Arisman
Ambarita. Lalu pada 6 September 2004 pukul 16.00 WIB, personel Brimob Polri
Bersama security PT TPL mencokok 2 warga, yaitu Mangitua Ambarita dan Parulian
Ambarita. Keduanya juga merasakan persidangan dan divonis bersalah.
(3). Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan.
Pada bulan Oktober 2019, PT TPL menurunkan Kepolisian dengan membawa senjata
dan aparat TNI mengintimidasi Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok
Parmonangan, Kecamatan Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun.
Saat itu, warga mereka melakukan aktivitas bertani di
wilayah adat. Setelah itu pihak PT TPL melaporkan 2 orang masyarakat atas nama
Hasudungan Siallagan dan Sorbatua Siallagan dengan tuduhan melakukan akrtivitas
menduduki hutan negara.
(4). Masyarakat Adat Keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak
Sipahutar. PT TPL diduga melakukan kriminalisasi terhadap warga masyarakat Adat
Keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak di Desa Sabungan Ni Huta II Kecamatan
Sipahutar Kabupaten, Tapanuli Utara (Taput).
5 warga dilaporkan ke Polisi dengan tuduhan penggunaan
kawasan Hutan Negara. Ke-5 warga dimaksud dilaporkan pada 15 Desember 2020,
adalah warga Masyarakat Adat Keturunan Ompu Ronggur, yakni Dapot Simanjuntak,
Maruli Simanjuntak, Pariang Simanjuntak, Sudirman Simanjuntak dan Rinto
Simanjuntak.
PT TPL melaporkan ke-5 warga ke Polisi dengan tuduhan
sangkaan penggunaan kawasan Hutan Negara. Padahal, ke-5warga dan Masyarakat
Adat Keturunan Ompung Ronggur lainnya hanya mengusahai wilayah adat, titipan
leluhurnya dengan aktivitas bertani.
(5). Masyarakat Adat Tor Nauli Parmonangan. Pada bulan Juni
2020, pihak PT TPL melaporkan 5 orang Masyarakat Adat Huta Tornauli yang berada
di Dusun Tornauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli
Utara.
Mereka adalah Buhari Job Manalu, Manaek Manalu, Nagori
Manalu, Damanti Manalu, Ranto Dayan Manalu dengan tuduhan perkebunan tanpa izin
di Kawasan Hutan.
(6). Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta Humbang
Hasundutan. Pekerja PT TPL menanam kayu putih (eucalyptus) di wilayah Tombak
Haminjon (hutan kemenyan) di Dolok Ginjang, Desa Pandumaan-Sipituhuta,
Kabupaten Humbang Hasundutan. Sumatera
Utara, Senin 25 Februari 2013. Padahal sesuai kesepakatan, harus "gencatan
senjata," tidak ada aktivitas.
Warga protes hingga terjadi bentrok dengan massa karyawan PT
TPL. Brimob Polri yang menjaga perusahaan menangkapi 31 warga, 16 orang
ditetapkan tersangka, 15 dibebaskan.
Terjadilah bentrok, dan ditandai penangkapan. 16 Warga yang
ditangkap dari Desa Sipituhuta adalah, Hanup Marbun (37 tahun), Leo Marbun(40),
Onri Marbun (35), Jusman Sinambela (50), Jaman Lumban Batu (40), Roy Marbun
(35), Fernando Lumbangaol (30), Filter Lumban Batu (45), Daud Marbun (35). Dari
Desa Pandumaan Elister Lumbangaol (45) Janser Lumbangaol (35) Poster Pasaribu
(32), Madilaham Lumbangaol (32) Tumpal Pandiangan (40).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirya mengakui dan
menyerahkan Surat Keputusan Pengakuan Hutan Adat kepada 9 Masyarakat Hukum Adat
(MHA) yang tersebar di sejumlah daerah di tanah air, di Istana Negara, Jakarta,
Jumat (30/12/2016).
Satu di antaranya, Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta seluas
5.172 Ha. Sayang sekali, realisasinya berkurang menjadi hanya 2.393 hektare,
pada Januari 2021.
Kejadian tindak kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi oleh
pihak PT TPL kepada masyakat terus berlanjut.
Masyarakat adat Tano Batak tidak mengenal cara-cara
kekerasan menyelesaikan masalah. Karena seluruh masyarakat adat akan melakukan
musyawarah mufakat bersama penatua kampung dalam memecahkan suatu permasalahan,
tidak dengan tindakan anarkis seperti yang dilakukan PT TPL kepada masyarakat Adat
Natumingka, dengan mempersiapkan security atau karyawan menggunakan benda tajam
seperti kayu runcing (alat tanam) bahkan ada karyawan PT TPL yang membawa
samurai, (ada videonya) dan lemparan batu.
Bahkan polisi yang berada di tempat kejadian menjadi penonton,
seolah mengizinkan kejadian itu berlangsung tak berdaya dengan alat-alat yang
digunakan pihak PT TPL untuk melakukan kekerasan kepada masyarakat.
Tidak jeranya PT TPL melakukan kekerasan, intimidasi dan
bentuk kekerasan lainnya adalah bukti lemahnya hukum untuk mendindak
perusahaan.
Terkait kejadian di Desa natumingka, menurut keterangan
Kepala Desa Natumingka Kastro Simanjuntak, bahwa tidak pernah pihak PT TPL
melakukan sosialisasi terkait rencana penanaman kayu eucalyptus.
Buktinya, Maret 2020, Kepala Desa beserta 8 orang masyarakat
pergi menemui pihak PT TPL di kantor Sektor Habinsaran.
Dalam kunjungan tersebut Kepala Desa Natumingka beserta
masyarakat menyampaikan supaya menghentikan penanaman menunggu penyelesaian
hukum, serta mencari solusi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Pertimbangnan lain, jika pihak PT TPL menarik karyawannya,
tentu di awal sudah seharusnya ditarik, namun realita di lapangan security dan
pekerja memaksa mendorong barisan warga serta melempar warga terlebih dahulu
sehingga mengakibatkan 12 warga luka-luka. (tum)