WahanaNews.co
I Setelah bertahun-tahun terlibat peperangan dalam upaya mengusir
Belanda dari tanah Toba, Sisingamangaraja XII wafat tanggal 17 Juni 1907.
Baca Juga:
Miris! Ribuan Tenaga Honorer Pemkot Taput Diberhentikan, Surat Edaran Jadi Acuan
Ia
gugur dalam pertempuran melawan Belanda di kaki bukit Lae Sibulbulen, tepatnya
di Desa Si Onom Hudon yang sekarang terletak di perbatasan Kabupaten Tapanuli
Utara dan Kabupaten Dairi.
Baca Juga:
Guncangan Terasa hingga Malaysia, Dampak Gempa Taput dan Madina Meluas
Sisingamangaraja
XII adalah Raja Negeri Toba (kini termasuk wilayah Sumatera Utara) yang lahir
tanggal 18 Februari 1845.
Peringatan
114 tahun Wafatnya Pahlawan Kemerdekaan Nasional Raja Sisingamangaraja XII kemarin
secara daring diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Perkumpulan Komite Independen
Batak (KIB) bersama Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) di dukung oleh Yayasan
Sisingamangaraja XII, Kamis (17/06/2021).
Ada
cerita menarik tentang gambar pahlawan nasional dari tanah batak Raja Sisingamangaraja
XII, yang saat ini dapat dikenal oleh seluruh rakyat Indonesia.
Dikutip
dari mediaonline historia.id awalnya, keluarga menolak lukisan Sisingamangaraja XII yang
gemuk karena dia puluhan tahun bergerilya melawan Belanda.
Awal ceritanya, pada tahun 1954, Augustin Sibarani, pelukis
dan karikaturis terkemuka Indonesia, menghadiri pertemuan besar keluarga
masyarakat Tapanuli yang diselenggarakan Panitia Sisingamangaraja XII di gedung
Adhuc Stadt (sekarang gedung Bappenas) di Menteng, Jakarta Pusat.
Dalam pertemuan itu hadir seorang tokoh Batak yang sudah
tua, Sutan Paguruban Pane, ayah pengarang terkenal Sanusi dan Armijn Pane.
Waktu Sisingamangaraja XII bergerilya di daerah Dairi, Sutan
bekerja sebagai klerk (juru tulis) di kantor pemerintah Hindia Belanda di
Sibolga.
Panitia memutuskan agar Sibarani membuat gambar
Sisingamangaraja XII berdasarkan keterangan dari Sutan Paguruban Pane.
Aneh memang, tidak ada foto Sisingamangaraja XII, sementara
ayahnya, Sisingamangaraja XI ada fotonya yang dibuat oleh Franz Wilhelm
Junghuhn, naturalis asal Jerman.
Ada cerita bahwa tak ada foto Sisingamangaraja XII karena
kesaktiannya membuat juru foto Belanda menjadi kaku ketika hendak memotret
jenazahnya, dan kameranya hangus terbakar.
Sibarani membuat lebih dari sepuluh sketsa Sisingamangaraja
XII. Salah satunya, menurut Sutan Paguruban Pane, sudah cukup mirip tapi dia
meminta Sibarani untuk menyempurnakannya.
Untuk itu, Sutan menyuruh Sibarani untuk pergi ke Tapanuli,
Sumatra Utara, menemui tokoh-tokoh lain yang mengenal Sisingamangaraja XII.
"Ada sejumlah uang yang dikumpulkan oleh panitia untuk
tujuan memberangkatkan saya ke Tapanuli. Tapi uang itu tidak pernah sampai ke
tangan saya, karena ada anggota panitia yang menyeleweng, karena itu saya tidak
jadi pergi ke Sumatra. Dan selama beberapa tahun kemudian persoalan pembuatan
gambar Sisingamangaraja dilupakan," kata Sibarani dalam Perjuangan Pahlawan
Nasional Sisingamangaraja XII.
Pada 1957, Joramel Damanik, tokoh Batak yang memiliki
penerbitan, mengirim pelukis terkenal, Zaini, ke Sumatra Utara untuk menemui
keluarga Sisingamangaraja XII.
Lukisan Sisingamangaraja XII yang dibuat Zaini ditolak
keluarga Sisingamangaraja XII karena kelihatan terlalu gemuk.
"Bila saja Zaini memakai logika sedikit, dia akan menyadari
bahwa seorang pemimpin yang bergerilya dan terus-menerus mengadakan long march
di hutan belantara dan daerah berbatu di Dairi selama lebih kurang 20 tahun,
tidak mungkin berbadan gemuk atau bertubuh penuh lemak," kata Sibarani.
Setelah itu, persoalan gambar Sisingamangaraja XII tidak dibicarakan
lagi sampai tahun 1961. Ketika Sisingamangaraja XII akan diangkat menjadi
Pahlawan Nasional.
Pada Agustus 1961, Sibarani dikunjungi Kolonel Rikardo
Siahaan, tokoh pejuang Medan Area, bersama Kapten Sinaga.
Mereka meminta Sibarani segera pergi ke Tapanuli untuk
merampungkan lukisan Sisingamangaraja XII.
Mereka menyampaikan lukisan harus diserahkan kepada Presiden
Sukarno pada Hari Pahlawan, 10 November 1961. Sibarani dibekali uang Rp6.000,
jumlah yang cukup lumayan pada waktu itu.
Sibarani pergi ke Tapanuli ditemani pelukis Batara Lubis dan
Amrus Natalsya. Sesampainya di Medan, Sibarani didatangi pensiunan Bupati yang
mengaku putra Raja Ompu Babiat Situmorang, raja yang berjuang bersama
Sisingamangaraja XII di daerah Dairi.
Sibarani mendatangi Raja Ompu Babiat Situmorang di
Harianboho (Samosir) di tepi Danau Toba. Raja itu menerangkan ciri-ciri
Sisingamangaraja XII: tingginya sekitar dua meter, wajahnya agak lonjong, tidak
berkumis, alisnya tebal, jenggotnya agak kemerahan pada ujung-ujungnya dan agak
mengarah ke atas, rambutnya yang panjang diikat seperti timpus (buntelan di
belakang kepala), dadanya yang bidang dipenuhi bulu yang agak kasar, hidungnya
mancung tapi agak besar, dan dahinya lebar.
Selain keterangan penting itu, Sibarani mendapatkan dua foto
dari putri Sisingamangaraja XII, yaitu foto Raja Buntal dan Raja Sabidan, putra
Sisingamangaraja XII.
Menurut Raja Ompu Babiat Situmorang, kalau wajah Raja Buntal
disatukan dengan wajah Raja Sabidan, maka Sibarani dapat melihat wajah
Sisingamangaraja XII.
Setelah mengetahui ciri-ciri Sisingamangaraja XII, Sibarani
membutuhkan model.
Dia mengunjungi Raja Barita Sinambela sekaligus meminta
restu untuk melukis ayahnya, Sisingamangaraja XII.
Kebetulan di rumahnya tinggal Patuan Sori, putra Raja
Buntal, yang berusia 18 tahun dan masih duduk di SMA. Dia memiliki alis mata
yang tebal dan matanya agak besar mencekam sesuai dengan keterangan Raja Ompu
Babiat Situmorang.
"Putra dari Raja Buntal inilah, yaitu Patuan Sori, yang saya
minta untuk menjadi model," kata Sibarani.
Sibarani meminta bantuan seorang tua marga Sinambela untuk
memakaikan pakaian kepada Patuan Sori. Orang tua itu mengenal Sisingamangaraja
XII sekaligus sebagai pengantar surat-surat Sisingamangaraja XII kepada para
panglimanya atau raja-raja lain.
Selama beberapa hari, Patuan Sori dengan memakai pakaian
Sisingamangaraja XII berpose di hadapan Sibarani.
Sibarani menyelesaikan lukisan Sisingamangaraja XII di rumah
iparnya di Medan yang tak jauh dari rumah Raja Barita Sinambela. Setelah
selesai, Raja Barita Sinambela dan seorang tua marga Sinambela merestui lukisan
Sisingamangaraja XII karya Sibarani.
Sibarani menyerahkan lukisan Sisingamangaraja XII kepada
Kolonel Rikardo Siahaan untuk diserahkan kepada Presiden Sukarno pada 10
November 1961.
Namun, tidak jadi karena menunggu seorang ibu tua berusia 72
tahun, anak Sisingamangaraja XII. Dia mengaku kakak dari Lopian, putri
Sisingamangaraja XII yang meninggal bersama ayahnya.
Dia mengoreksi lukisan itu: bulu dada Sisingamangaraja XII
tidak begitu tebal, jenggotnya tidak terlalu panjang, hidungnya harus
dibesarkan sedikit, dan alis matanya terlalu tebal. Dia meminta Sibarani untuk
mengubah lukisannya sebelum diserahkan kepada Presiden Sukarno.
"Besoknya lukisan itu saya ubah lagi hingga lukisan
Sisingamangaraja XII yang berdiri tegak memegang tongkat itu pun selesai," kata
Sibarani.
Anggota panitia, tokoh-tokoh terkemuka sipil dan militer dan
keluarga keturunan Sisingamangaraja XII menghadiri upacara penyerahan lukisan
Sisingamangaraja XII kepada Presiden Sukarno di Istana Negara pada Desember
1961.
Ketika lukisan itu diserahkan kepada Sukarno, ibu tua itu
berteriak "Among (ayah)" lalu pingsan.
"Semua tokoh yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan
Sisingamangaraja XII menandatangani suatu pernyataan bahwa mereka mengakui
lukisan Sisingamangaraja yang saya buat," kata Sibarani.
"Tapi sayang, ini semua tidak dapat saya hadiri sebagai
pelukisnya karena saya tidak berada di Jakarta. Saya sedang berada di Medan
menghadiri perayaan hari ulang tahun ibu saya." Kata Sibarani. (tum)
Artikel ini sudah tayang di historia.id pada tanggal 15 Juni
2017