Sementara itu, Dirjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kemen ATR/BPN Budi Situmorang menjelaskan bahwa penataan ruang memang perlu kolaborasi dan penyesuaian antara pusat, provinsi dan kabupaten kota. Sehingga upaya itu bisa diwujudkan melalui pembinaan, pengendalian dan pemanfaatan ruang.
“Kepada pemerintah daerah melalui sejumlah instrument pengendalian. Jadi kami bukan mengatakan bahwa perencanaan kabupaten itu tidak baik. Tetapi fungsi danau yang ada saat ini harus diperkaya lagi dengan fungsi pengendaliannya. Termasuk untuk kabupaten Pakpak Bharat, ternyata ada aliran dari bawah tanah yang masuk ke Danau Toba, sehingga daerah itu juga harus dijaga lingkungannya,” jelas Budi.
Baca Juga:
Yin-Yang konsep dalam filosofi Tionghoa yang biasanya digunakan untuk mendeskripsikan Sifat Kekuatan
Dalam instrumen pengendalian tata ruang kawasan Danau Toba, lanjut Budi, sudah ada aturan dan ketentuan khusus. Namun kondisi di sana sudah banyak pembangunan, sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataannya banyak berdiri bangunan yang tidak sesuai ketentuan. Karena itu perlu upaya pencegahan perubahan fungsi ruang untuk masa mendatang.
“Dimulai dari kabupaten, provinsi dan pusat. Kewenangan itu dapat diambil alih dengan waktu tertentu. Kalau tidak dilakukan oleh bupati dalam waktu tertentu, Gubernur punya hak untuk mengambil alih. Begitu juga jika Gubernur tidak melaksanakannya, menteri yang mengambil alih dalam jangka waktu tertentu,” katanya.
Begitu juga dengan ketentuan pidana sebut Budi, bagi pejabat yang memberikan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, maka akan ada sanksi kurungan. Sebagaimana catatan mereka tentang adanya indikasi pelanggaran.
Baca Juga:
Menteri BUMN Apresiasi Gerak Cepat PLN Hadirkan Energi Bersih di IKN
“Indikasi pelanggaran tata ruang sebanyak 1.482 yang tidak sesuai (di kawasan Danau Toba). Dan telah dilakukan verifikasi dan konfirmasi, 19 kasus ditetapkan sebagai pelanggaran pemanfaatan ruang. Ada 11 kasus di Samosir, kemudian 5 kasus di Simalungun dan ada 3 di Kabupaten Humbanghasundutan,” terangnya.
Budi mengakui bahwa masih ada perbedaan di antara para pemangku kepentingan dalam hal persepso terhadap urgensi, sehingga komitmen penertiban pelanggaran kurang optimal. Karenanya membutuhkan kolaborasi secara keseluruhan demi penyelamatan kawasan Danau Toba.
“Kolaborasi bisa terjadi jika ada kesamaan pemahaman dari seluruh pemangku kepentingan. Besar harapan kami semoga diskusi ini dapat membawa perubahan besar. Namun bukan berarti upaya pengendalian membuat investasi tidak boleh masuk. Tetapi bagaimana tidak mengorbankan kepentingan masyarakat yang lebih besar (kelestarian Danau Toba),” pungkasnya. [rum]