WahanaNews.co I Kolonialisme tidak hanya menorehkan episode
kelam dalam sejarah umat manusia, tetapi juga meninggalkan warisan dalam berbagai
aspek kehidupan yang terus berlanjut.
Baca Juga:
Batak di Filipina, Satu dari 7 Suku yang Terancam Punah
Dikutip dari tirto.id Memasuki pertengahan abad ke-20,
kolonialisme memudar diiringi kebangkitan nasionalisme pada koloni-koloni yang
hendak merdeka. Namun, jejak-jejak penjajah di tanah jajahan tidak luntur
begitu saja. Berpuluh-puluh tahun setelah kolonialisme bubar, segala yang
diciptakannya semasa ratusan tahun penguasaan kerap masih bisa ditemui, mencuat
bahkan diterima oleh mereka yang pernah dijajah.
Baca Juga:
3 Penyanyi Muda Berdarah Batak Ini Turut Mewarnai Industri Musik Indonesia
Persoalan yang biasanya diwariskan oleh penjajah biasanya
terkait identitas. Identitas sosial-budaya yang ditemukan pada masa kini, dalam
banyak hal telah mendapatkan pengaruh dari kolonialisme, jika bukan dibentuk
oleh kolonialisme. Salah satu kenyataan sosial yang begitu mendapatkan pengaruh
oleh kolonialisme adalah persoalan terkait etnisitas.
Isu mengenai etnisitas di Afrika, India-Pakistan, Myanmar dan
banyak wilayah bekas jajahan lain ditengarai oleh banyak peneliti merupakan
dampak kolonialisme. Sebelum kolonialisme, peta sosial berdasarkan etnisitas
bisa dikatakan tidak ada, atau mungkin berbeda sama sekali dengan yang ditemui
saat ini. Beberapa ilmuwan sosial berkeyakinan bahwaetnisitas tercipta dari
kondisi kontemporer, salah satunya melalui kolonialisme.
Proses pembentukan identitas dan kesadaran etnis di berbagai
negara bekas jajahan sering kali memang digunakan sebagai instrumen untuk
keperluan penyelenggaraan pemerintahan kolonial. Ilmuwan politik James Scott
dalam bukunya Seeing Like a State (1998) menyebutkan salah satu corak penguasaan
negara kolonial adalah usaha untuk melalukan simplifikasi atas kenyataan sosial
yang kompleks dan beragam. Di antara upaya ini adalah penamaan dan
kategorisasi. Dalam logika ini, kompleksitas masyarakat mempersulit
penyelenggaraan pemerintahan menjadi lebih sukar. Walhasil, diciptakanlah
kategori-kategori besar.
Antropolog Thomas Hylland Eriksen, seorang pakar kajian
etnisitas, berpendapat bahwa kesadaran etnis merebak melalui proses pembentukan
label dan kategori seperti itu yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Eropa.
"Pembentukan label yang ketat untuk kategori sejumlah orang
tidak hanya memiliki dampak secara konseptual, tetapi juga secara sosial pada
kelompok yang dilabeli," demikian Eriksen dalam salah satu karya penting
mengenai etnisitas Ethnicity and Nationalism (2010). "Karena label menjadi
sebutan resmi, anggota kelompok pun mulai menggunakannya untuk mengidentifikasi
diri mereka sendiri," tandas Eriksen saat menjelaskan menggambarkan perubahan
identitas etnis yang terjadi pada orang Chamba di Afrika Barat.
Sebelum para penjajah mendudukkan mereka sebagai kelompok
etnik, orang Chamba tidak pernah ada dalam pengertian sebagai satu kategori
etnis yang sama. Mereka terbagi dalam kelompok-kelompok kecil sesuai dengan
kekerabatan dan loyalitas personal. Baru setelah orang Eropa memayungi
kelompok-kelompok ini dengan istilah "Chamba" kesadaran etnis muncul: mereka
mengidentifikasi diri sebagai orang Chamba. Pelabelan ini tidak hanya persoalan
kategoris, tetapi secara langsung memengaruhi kesadaran etnis baru di kalangan
masyarakat yang dilabeli.
"Orang Chamba tidak ada pada abad ke-19, bukan hanya karena
ketiadaan istilah Chamba yang menggambarkan asal-usul, bahasa, dan budaya beragam,
tetapi karena entitas etnis yang memiliki bentuk seperti etnis Chamba saat ini
adalah penemuan modern," terang Eriksen menegaskan konsep etnisitas sebagai
temuan modern kolonialisme Eropa.
Proses pembentukan identitas etnis serupa juga terjadi pada
orang Yoruba di Afrika Barat, Zulu dan Tswana di Afrika Selatan. Singkatnya,
Eriksen menyoroti dalam banyak kasus etnisitas diciptakan secara artifisial
oleh para penjajah dari Eropa. Pemahaman mengenai etnisitas yang seperti ini
memang telah diterima secara lumrah dalam kajian-kajian ilmu sosial
kontemporer.
Kajian-kajian ini juga ternyata telah dilakukan di Indonesia,
mengingat Indonesia memiliki sejarah panjang kolonialisme. Kajian tentang etnis
di Indonesia mengungkap beberapa identitas kesukuan yang ditemukan hari ini
adalah warisan kolonialisme Eropa.
Salah satu contohnya dapat ditemui pada proses pembentukan
identitas Batak yang telah lama diperdebatkan oleh para peneliti dan tokoh
masyarakat Batak. Isu ini pernah hangat kembali ketika pada 2010 sejarawan asal
Universitas Medan Ichwan Azhari mengungkapkan temuannya yang mengatakan istilah
"Batak" sebagai kategori etnis dikonstruksi oleh para misionaris Jerman yang
kemudian dilanggengkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Azhari menyimpulkan
temuan itu setelah memeriksa arsip-arsip seputar Batak di Jerman dan Belanda.
Menariknya, proses serupa bisa ditemukan pada pembentukan
kategori etnis lain di Indonesia, seperti kategori etnis Dayak di Kalimantan.
Lantas, jika memang pemerintah kolonial memiliki andil dalam persoalan itu,
bagaimana proses kontruksi itu terjadi? Dan mengapa pemerintah kolonial
menciptakan kategori-kategori etnis di wilayah jajahannya?
Politik Etnis Belanda di Sumatera
Politik Etnis Belanda di Sumatera Daniel Perret dalam bukunya
Kolonialisme dan Etnisitas (2010) memberikan pemaparan historis dan etnografis
mengenai Batak sejak abad ke-2. Dalam buku itu, Perret beberapa kali menekankan
bahwa istilah "Batak" sebagai kategori etnis yang mewadahi ragam kelompok di
wilayah Sumatera Utara dikonstruksi oleh para penjelajah, etnograf, antropolog,
misionaris dan terakhir dilanggengkan oleh pemerintah kolonial Belanda selama
penguasaan Sumatera, terutama pada era perkebunan swasta abad ke-19 dan 20.
Berdasarkan penelusuran Perret, masyarakat "Batak" sudah
disebut oleh ahli geografi asal Yunani Ptelomeus yang pada abad ke-2
menggambarkan penduduk di Sumatera bagian utara (disebutkan: "Pu"lo" dan
"Barus") secara stereotipikal: masyarakat kanibal. Namun, istilah yang
mendekati kata "Batak" baru mencuat saat Nicolo de" Conti menceritakan masa
tinggalnya di "Schumatera" pada 1430. Ia menjadi orang pertama yang menyebut
populasi setempat sebagai orang "Batech".
Selanjutnya istilah "Bata" juga muncul dalam tulisan masyhur
Suma Oriental karya Tomé Pires pada 1515. Pada waktu-waktu berikutnya, istilah
"Batak" kemudian digunakan secara peyoratif oleh orang Melayu dan Eropa untuk
menggambarkan masyarakat pedalaman di Sumatera Utara yang dianggap kanibal dan
gemar berperang. Padahal, menurut Perret, berdasarkan data etnografi yang
tersedia, populasi yang dilabeli "Batak" ini pada awalnya tidak mau menerima
kategori ini. Pasalnya, istilah ini sering dijadikan ejekan oleh orang luar.
Mereka pun merasa berbeda satu sama lain. Perret mencatat temuan catatan
etnografi pada 1880 yang mengatakan bahwa penduduk di sekitar selatan Toba
tidak menerima penyebutan "Batta" untuk kelompoknya karena kata ini sering
digunakan oleh orang Melayu untuk menghina penduduk pedalaman. Selain itu,
Perret juga mencatat dalam sastra lokal, sebutan "Batak" jarang ditemukan untuk
merujuk kelompok yang bersangkutan.
Namun, orang Eropa tetap menggunakan istilah "Batak" sebagai
kategori pemisah antara populasi pedalaman yang berbeda dengan populasi pesisir
yang Melayu dan Islam. Sejak abad ke-19, para peneliti Eropa mulai berlomba untuk
memetakan area yang disebut-sebut sebagai "Tanah Batak" (Bataklanden) dengan
menggeneralisir kesamaan adat, bahasa dan mitos asal-usul. Di sisi lain,
memasuki abad ke-20, para peneliti Eropa mulai memperhatikan
perbedaan-perbedaan mencolok di antara kelompok-kelompok yang mereka
kategorikan sebagai "Batak".
Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ditemukan, Belanda
yang menguasai Sumatera memilih melanggengkan kategori "Batak" dalam sistem
administrasi kolonialnya. Melihat hal ini, Perret kemudian menyimpulkan
kategori "Batak" sebagai etnis merupakan label identitas yang kabur (evasive
identity), yaitu pelabelan kategori etnis oleh orang dari luar kelompok.
Identifikasi ini biasanya melibatkan pencantuman atribut-atribut stereotipikal,
misalnya pemakan babi, bukan melayu, bukan Islam, dan tinggal di pedalaman.
Petugas pemerintah kolonial sejak abad ke-19 melanjutkan usaha untuk memetakan
"Tanah Batak" dengan melakukan homogenisasi dan generalisasi.
"Dalam fase ini, aspek-aspek kesamaan fisik dan budaya di
seluruh wilayah yang telah ditentukan batas-batasnya mulai dicari-cari," tulis
Perret.
Lantas mengapa pemerintah kolonial melakukan usaha-usaha ini?
Kepentingan Kolonial di Bataklanden
Kepentingan Kolonial di Bataklanden Pada 1888 Perret
mengungkapkan bahwa seorang Bruder atau rohaniawan Katolik bernama J. Kreemer
menyampaikan pidato di depan parlemen mengenai urgensi pengembangan Kristen di
"Tanah Batak" (Bataklanden) karena persebaran Islam dan kekuatan kesultanan di
Sumatera, terutama pengaruh Aceh yang dianggap akan mengganggu kestabilan
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.
Berdasarkan catatan Perret, pada tahun yang sama pemerintah
kolonial mulai menugaskan sejumlah kontrolir khusus untuk urusan "Batak" di
Bataklanden. Selain menjaga dan memperluas perkebunan, mereka bertujuan
memisahkanmasyarakat pesisir dan masyarakat pedalaman. Tentu saja tujuan ini
bermotif politis, sebagaimana disampaikan langsung oleh kontrolir Westenberg
dari Karo pada 1891.
"Saya berpendapat bahwa demi alasan-alasan politik, akan jauh
lebih baik untuk tidak memperkuat pengaruh langsung Sultan dan kepala-kepala
urung (satuan administrasi onderafdeling) yang semuanya Islam dan terus
menganggap daerah-daerah dusun Batak sebagai satuan-satuan terpisah, atau lebih
tepat dikatakan spesifik," tulis Westenberg seperti dikutip oleh Perret.
Untuk mengesahkan praktik pemisahan seperti itu, para pegawai
kolonial mencari landasan yang jelas untuk kategori etnis yang mereka ciptakan.
Pada 1908 didirikan sebuah institut yang secara khusus bekerja untuk
memantapkan rumusan identitas "Batak" dan segala informasi tentang Bataklanden,
yaitu Bataaksch Instituut di Leiden. Dua tahun berikutnya, kontrolir Kok yang
bertugas di Deli-Serdang melaporkan keberhasilannya dalam mengumpulkan
ciri-ciri budaya dan psikologis "Batak" berkat kerja sama dengan misionaris dan
para peneliti. Sementara setahun sebelumnya, kontrolir Westenberg yang bekerja
di dataran tinggi Karo juga berhasil menyusun dan mengesahkan sebuah teks adat
dalam bahasa Karo yang dianggap menjadi penanda identitas "Batak Karo".
Usaha serius dilakukan lagi menjelang tahun 1930-an. Menurut
Perret, pada era itu pemerintah kolonial berusaha untuk tidak sekadar
mengembangkan kesadaran etnis pada masyarakat "Batak", tetapi juga memperkuat
kesadaran nasionalis lokal untuk menandingi kebangkitan gerakan nasionalis
Indonesia. Hal ini terutama dilakukan di Tapanuli, misalnya dengan rencana
pembentukan Groepsgemeenschap (satuan berbagai kelompok) yang akan dipimpin oleh
Batakraad (Dewan Batak) pada 1939. Menariknya, Perret mengungkap bagian dari
orang yang dianggap "Batak", seperti orang Mandailing, menolak keras rencana
ini, sekaligus menolak mengidentifikasi diri sebagai "Batak".
Jadi, bagi Perret, masyarakat yang sekarang dikategorikan
sebagai Batak memang sudah eksis pada masa pra-kolonial dalam berbagai kelompok
yang memiliki kemiripan. Namun, kesadaran etnis seperti yang ada pada saat ini
belum ada. Kolonialisme kemudian menghadirkan kategori etnis Batak yang modern.
"Kami berpendapat bahwa pada zaman pra-kolonial, sebutan
"Batak" tidak ada dalam sumber-sumber di pedalaman," tulis Perret di bagian
kesimpulan. "Beberapa pengamatan langsung yang dilakukan orang Barat pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20 menunjukkan bahwa ketika kategori Batak
digunakan di pedalaman, sebutan itu selalu merujuk kepada "orang lain, tidak
pernah diri sendiri."
Bukan Hanya Batak
Bukan Hanya Batak Tidak hanya di Sumatera, konstruksi
identitas etnis juga terjadi di Kalimantan. Seperti disebutkan oleh Taufiq
Tanasaldy dalam buku Regime Change and Ethnic Politics in Indonesia (2012), di
Kalimantan penamaan "Dayak" tidak temukan atau digunakan untuk merujuk satu
komunitas etnik pada ratusan tahun yang lalu, terutama sebelum kedatangan
penjajah. Awalnya istilah "Dayak" digunakan oleh kesultanan-kesultanan Melayu
untuk menyebut sekelompok populasi yang tinggal di pedalaman. Istilah itu
kemudian dipopulerkan dalam laporan-laporan orang Eropa sebelum nantinya
dipakai oleh pemerintah kolonial Inggris dan Belanda.
"Label etnis yang sifatnya memayungi seperti itu dulunya
tidak ada untuk penduduk lokal. Bagi beberapa dari mereka, "Dayak" hanyalah
kata lain dalam kosakata mereka, yang berarti "bagian dalam" atau juga
"orang"," tulis Tanasaldy. "Beberapa penduduk lokal ini mungkin memang memiliki
hubungan kekerabatan, tetapi mereka pada awalnya tidak melihat diri mereka
sebagai anggota kelompok etnis yang sama."
Salah satu dokumen yang menunjukkan kontruksi identitas
seperti ini telah ditulis pada 1881 oleh seorang geograf dan etnolog Pieter
Johannes Veth dalam artikel berjudul "De Oorsprong van den Naam Dajak",
selanjutnya diterjemahkan dan ditinjau ulang oleh Allen Maxwell dengan judul
"Origins of The Name Dayak" yang dimuat dalam Borneo Research Bulletin (Vol.
15, No. 2, 1983).
Veth mengatakan bahwa identitas "Dayak" sebagai kategori
etnis besar yang melingkupi seluruh populasi lokal Kalimantan - bahkan juga
sampai ke Sulawesi - adalah pemberian para pegawai kolonial yang melanjutkan
penamaan "Dayak" dari orang-orang Melayu untuk merujuk masyarakat pedalaman
yang bukan Islam. Veth mengutip sebuah studi etnografi yang dilakukan M.T.H.
Peralaer pada 1881:
"Tidak ada tempat di Kalimantan, setidaknya di bagian pulau
yang kita (Belanda) kuasai, yang menunjukkan bahwa kata itu akrab digunakan;
kata itu hanya dikenal di distrik-distrik yang bersentuhan dengan kita orang
Eropa," tulis Peralaer sebagaimana dikutip Veth.
Penamaan itu kemudian malah menjadi lumrah digunakan oleh
orang Eropa. Merujuk kembali kepada tulisan Tanasaldy, awalnya beberapa
kelompok "Dayak" merespons label itu dengan penolakan, tapi ada juga beberapa
yang justru mengapropriasinya. Selanjutnya, pada periode setelah Perang Dunia
II, kategori etnis "Dayak" digunakan oleh Belanda untuk menandingi gerakan
kemerdekaan. Jika selama periode sebelumnya, orang "Dayak" selalu
dimarginalisasi secara politis oleh kesultanan Melayu. Pada periode ini,
Belanda yang mencoba melakukan restorasi kekuasaan pada 1947 membuka peluang
bagi orang "Dayak" untuk terlibat dalam politik melalui pembentukan Daerah
Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Meskipun, jauh sebelum itu, pada 1919
sebenarnya telah terbentuk Sarekat Dayak. Namun, menurut Tanasaldy pemberian
akses dan peluang pada 1947 itu membuat kesadaran etnis baru mencuat dan
menguat di kalangan masyarakat "Dayak".
"Label itu menjadi lebih menarik bagi penduduk asli setelah
pemerintah (Belanda) pasca perang dunia kedua memberikan peran politik kepada
Dayak," tulis Tanasaldy. "Terlepas dari perseteruan di antara kelompok mereka
di masa lalu, ikatan di antara penduduk lokal telah menguat sebagai hasil dari
konstruksi identitas, pengalaman marginalisasi yang serupa dan tujuan politik
mereka yang umumnya sama." (tum/tirto.id)