WahanaNews-Sumut | Pusat Monitoring Politik dan Hukum Indonesia (PMPHI) mengingatkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia, supaya tidak tidak mengultimatum Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pemberhentian 56 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos dalam tes wawasan kebangsaan (TWK).
Koordinator PMPHI, Gandi Parapat juga mengingatkan Komnas HAM, Ombudsman maupun Indonesia Corruption Watch (ICW) untuk menghormati keputusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penolakan judicial review atas hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) terhadap pegawai KPK. Sebab, keputusan itu sudah berkekuatan hukum tetap.
Baca Juga:
Kebakaran Tujuh Rumah di Parapat bermula dari lantai dua rumah makan ayam geprek
"PMPHI melihat ada upaya untuk membenturkan Presiden Jokowi dengan Ketua KPK Firli Bahuri terkait putusan MA dan MK tersebut. Hal yang sangat memiris, justru BEM ikut - ikutan mengultimatum Presiden Jokowi dengan memberikan tenggat waktu 3 x 24 jam untuk segera mengangkat 56 orang pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat (TMS)," ujar Gandi Parapat, Jumat (24/9/2021).
Gandi menduga, ada misi terselubung di balik ultimatum kalangan BEM tersebut. Ultimatum itu seharusnya tidak layak disampaikan kepada Kepala Negara, apalagi sampai diumumkan ke tengah publik. Seharusnya, BEM mewakili kalangan mahasiswa dapat berpikir secara intelektual, dan tidak terjebak dalam jurang penegakan hukum.
"Mungkin kalangan BEM, ICW, Ombudsman, Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), tidak menyadari dampak dari tudingan miring mereka terhadap pemerintahan, termasuk saat menyudutkan Ketua KPK Firli Bahuri melalui publikasi di berbagai medua, adalah merupakan tindakan yang melanggar hukum," ungkap Gandi Parapat.
Baca Juga:
DPO Pelaku Pembuangan Mayat Wanita di Kabupaten Karo ditangkap Jatanras Poldasu
Gandi menegaskan, pihak yang mengultimatum Presiden Jokowi maupun menyudutkan pemerintahan dan Ketua KPK, dapat dijerat pasal penghasutan. Untuk penerapan pasal ini justru dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun penjara. Oleh karena itu, semua pihak harus menghormati putusan hukum terkait pemberhentian 56 orang pegawai KPK tersebut.
Koordinator PMPHI, Gandi Parapat menyarankan, pihak yang selama ini menyudutkan lembaga antirasuah pimpinan Firli Bahuri, tidak lagi memaksa Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan pelanggaran hukum, apalagi sampai bertentangan dengan putusan MA dan MK. Sebab, Presiden Jokowi sudah menyerahkan permasalahan tersebut diselesaikan putusan hukum sesuai konstitusi bangsa ini.
"Dari awalnya PMPHI sudah memastikan sangat tidak mungkin bahwa puluhan orang pegawai KPK yang tidak lulus TWK untuk diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN). Namun banyak pihak yang dengan sengaja membentuk opini di tengah masyarakat, bahwa masalah ini merupakan bentuk sentimen pribadi pimpinan KPK. Padahal, itu merupakan kewenangan Badan Kepegawaian Negara (BKN)," ujar Gandi Parapat.
Gandi mendorong pemerintah agar tidak lepas tangan terhadap puluhan orang pegawai KPK yang tidak lolos TWK tersebut. Meski tidak lagi menjadi pegawai KPK setelah keluarnya putusan berkekuatan tetap tersebut, PMPHI meminta pemerintah memberikan pendampingan untuk membantu mereka yang tidak bakal diangkat menjadi ASN. Pemerintah diharapkan memberikan pendampingan untuk memuluhkan kondisi psikis mantan pegawai KPK tersebut.
Gandi juga mengapresiasi keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyerahkan persoalan 75 orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait tidak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan (TWK), harus mengikuti keputusan hukum di negeri ini.
Gandi Parapat menilai, keputusan Presiden Jokowi sesuai dengan semangat Undang - undang Dasar 1945. Keputusan Presiden itu juga sesuai dengan konstitusi negara. Keputusan itu sangat positif dalam menjadikan hukum sebagai panglima, dan menepis opini yang bisa menyesatkan lembaga negara.
"Dari awalnya saya sudah sering mengungkapkan ke publik, bahwa Ketua KPK Firli Bahuri tidak mempunyai kompeten untuk mengangkat 75 orang pegawai KPK agar bisa menjadi aparatur sipil negara (ASN). Alasannya sangat kuat karena mereka yang tidak lolos TWK, sangat mustahil jika diangkat menjadi ASN," ujar Gandi Parapat.
Gandi menyampaikan, pimpinan KPK tidak mempunyai kewenangan dalam mengangkat 75 orang pegawai KPK yang tidak lolos dalam tes wawasan kebangsaan. Untuk mengangkat aparatur sipil negara (ASN) merupakan kewenangan penuh lembaga pemerintah, yaitu Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sedangkan KPK hanya diberikan mandat untuk menjalankan amanat UU.
“Bangsa ini menjunjung tinggi penegakan hukum. Negara ini tidak bisa diatur oleh orang perorang maupun suatu kelompok tertentu. Itu salah dan keliru. Yang perlu kita pahami bersama, bahwa negara kita telah memilih, hukum sebagai landasan utama. Karenanya, semua harus dijalankan sesuai ketentuan. Keputusan hukum dianggap benar bila putusan hukum itu sendiri tidak menggugurkannya,” kata Gandi.
Gandi menilai, laporan hasil pemeriksaan (LHP) oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dengan menyatakan Menpan, Kemenkumham, BKN dan KPK, melakukan maladministrasi terkait 75 pegawai di lembaga antikorupsi yang tidak memenuhi syarat (TMS) dalam tes wawasan kebangsaan, sudah menimbulkan opini menyesatkan di tengah publik.
"Produk ORI itu merupakan produk administrasi berupa rekomendasi. Bukan perintah Undang - undang (UU) atau legal mandatory. Sementara itu, KPK bekerja melakukan seleksi wawasan tes kebangsaan dengan berbasis pada perintah dan mandat dari peraturan perundang-undangan. Untuk pengajuan keberatan selayaknya mengajukan gugatan ke PTUN," ungkap Gandi Parapat.
Gandi mengatakan, Ketua KPK Firli Bahuri tidak bisa mengikuti rekomendasi ORI dalam meloloskan 75 orang pegawai KPK yang TMS tersebut. Apakah benar LHP ORI terkait pengalihan pegawai KPK menjadi ASN? Apa merupakan kewajiban LHP ORI harus dilaksanakan? Apalagi, ORI merekomendasikan 75 pegawai yang TMS agar dialihkan menjadi ASN sebelum 30 Oktober 2021.
"Pimpinan KPK justru melakukan pelanggaran berat UU jika meluluskan 75 pegawai yang TMS agar dialihkan menjadi ASN. Rekomendasi ORI itu tidak serta merta menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan. Jika dilaksanakan justru negara ini melanggar UU tersebut, dan bukan hanya KPK. Karena itu, laporan ORI itu dinilai bisa menjerumuskan lembaga negara melanggar UU," jelas Gandi Parapat.
Oleh karena itu, Gandi Parapat menyarankan ORI maupun Komnas HAM untuk memberikan kesempatan kepada pimpinan KPK dalam menunggu putusan Mahkamah Agung (MA) terkait HUM Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021, tentang tatacara pengalihan pegawai KPK menjadi ASN. Di samping itu, KPK juga masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan Pasal 69B dan 69 C tentang penyelidik dan penyidik adalah ASN.
"LHP ORI menuding Menpan, Kemenkumham, BKN, KPK, melakukan maladminidtrasi. Ini sangat aneh dan tidak berdasar. Bahkan semua keterangan ahli yang dimintai keterangan menyatakan bahwa apa yang dilakukan BKN dan KPK semuanya legal dan tidak ada yang keliru. Namun dalam kesimpulan ORI tidak sama sekali menggunakan keterangan para ahli dan para pihak terlapor," tegasnya.
Menurut Gandi Parapat, kesimpulan LHP ORI yang merekomendasikan kepada KPK untuk mengalihkan pegawai yang TMS agar diangkat ASN sangat keliru. Soalnya, tidak ada ruang bagi pegawai yang TMS untuk diangkat menjadi ASN. Justru sebaliknya, pegawai KPK yang TMS harus diberhentikan. Sebab, pegawai KPK yang TMS tidak memenuhi syarat UU Nomor 19 Tahun 2019.
"Dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 itu menyatakan bahwa pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara dan Pegawai yang TMS tidak memenuhi syarat, sebagaimana Pasal 5 dan harus diberhentikan karena tidak memenuhi syarat sebagai ASN, sebagaimana Pasal 23 Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021," pungkas Gandi Parapat. [rum]