Oleh: Drs. Thomson Hutasoit
Baca Juga:
Mama Dada Mu Ini Dada Ku
Litok Aek Di Jae Tinghiron Tu Julu arti dalam bahasa
Indonesia, Air Keruh Di Hilir Dilihat Dan Atau Diperiksa Di Hulu.
Kearifan budaya (culture wisdom) kearifan lokal (local
wisdom) warisan leluhur Batak Toba mengurai, mencari solusi, menyelesaikan
berbagai permasalahan, persoalan, konflik ditengah kehidupan masyarakat, bangsa
maupun negara secara tuntas adalah "Litok Aek di Jae Tinghiron tu
Julu" dalam terjemahan bebas "Air keruh di Hilir dilihat dan/atau
diperiksa di Hulu".
Baca Juga:
Perseteruan Kandidat Penghuni Sorga
Ungkapan kearifan budaya, kearifan lokal leluhur Batak Toba
ini mungkin terdapat pada kearifan budaya, kearifan lokal suku, etnik lain di
bumi Nusantara dengan sebutan atau penuturan berbeda memiliki arti dan makna yang
sama.
Sayangnya, wejangan cerdas, brilian, jenial tumbuh
berkembang dan telah mendarah daging di hati sanubari dan pikiran rakyat
Nusantara telah terkikis dan tergerus akibat gempuran budaya-budaya asing yang
didengung-dengungkan, diagung-agungkan, didewa-dewakan segelintir orang
dan/atau pihak mabuk budaya luar, kecanduan agama yang rela membunuh bangsa
sendiri demi menegakkan budaya asing sebagaimana dikatakan Bung Karno.
Bung Karno dengan tegas mengatakan;
"Kalau jadi Hindu janganlah jadi India,
Kalau jadi Islam janganlah jadi Arab,
"Kalau jadi Kristen janganlah jadi Jahudi.
Tetaplah jadi orang Nusantara dengan adat budaya Nusantara
yang kaya raya ini.
Musuh terberat itu rakyat sendiri; Rakyat yang mabuk akan
budaya luar, yang kecanduan agama yang rela membunuh bangsa sendiri demi
menegakkan budaya asing".
Anggapan keliru dan sesat pikir mengatakan kearifan budaya,
kearifan lokal telah ketinggalan zaman (out of date), kampungan, ndeso dari
segelintir orang dan/pihak mabuk budaya luar dengan sombong, angkuh, pongah
meninggalkan, menanggalkan dan membuang karakter jati diri bangsa diawariskan
leluhur Nusantara dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Padahal Indra Gandhi (1974) dengan tegas mengatakan,
"Tidak semua yang modern itu baik, demikian juga tidak semua yang lama itu
baik atau buruk."
Dan perlu diingat, pendekatan budaya (culture approach)
relatif lebih tepat, akurat dan berhasil menemukan solusi dan pemecahan masalah
(problem solving) karena menyentuh relung-relung hati nurani dan pikiran paling
dalam karena bersentuhan dengan karakter jati diri spesifik adat budaya
pribadi, komunitas bersangkutan.
Mencari solusi pemecahan masalah dengan pendekatan budaya
(culture approach) sejatinya langkah tepat dan akurat karena langsung menyentuh
akar masalah sehingga lahir "Siboru puas siboru bakkara, Molo dung puas
sae soada mara" artinya bila suatu masalah telah diurai dan dibicarakan
komprehensif paripurna melalui musyawarah mufakat dengan memosisikan
pihak-pihak dalam keseimbangan, kesetaraan, kesederajatan maka tidak ada merasa
dirugikan ataupun tersakiti, terzolimi, dll.
Leluhur Batak Toba memberi wejangan jelas dan tegas
bagaimana mencari solusi dan menyelesaikan masalah dengan mengurai, mengkaji,
menganalisis akar masalah mendalam dan mendetail.
Tidak cukup hanya melihat dari hilirnya (jae-red) saja
melainkan hulunya (julu-red) karena permasalahan itu tidak tertutup kemungkinan
diakibatkan cacat lahir ataupun disengaja (by desain) atas boncengan
kepentingan parsial sebagaimana sinyalemen jual-beli pasal, ayat sebuah
regulasi, baik Undang- undang, peraturan daerah (Perda) mendegradasi atau mengkhianati regulasi
diatasnya.
Kebijakan holistik dibelokkan, dibajak kepentingan politik
parsial dengan berbagai alibi tak masuk akal serta lobi-lobi politik para
politisi tak berjiwa negarawan.
Penyelundupan pasal, ayat regulasi by desain kerap ditemukan
dalam berbangsa dan bernegara yang menimbulkan karut-marut tak mudah dan
gampang diselesaikan dengan tuntas.
Bercermin dan berpedoman kearifan budaya warisan leluhur
Batak Toba "Litok Aek di Jae Tinghiron tu Julu" maka solusi,
pemecahan masalah sedang dialami dan dihadapi bangsa dan negara akhir-akhir ini
tentu haruslah mencari dan menemukan sumber akar masalah sesungguhnya.
Tidak cukup hanya menyelesaikan akibat tanpa terlebih dahulu
mengurai dan mengerahui, memahami sebab yang menimbulkan akibat atau dampak
dari sumber akar permasalahan tersebut.
Segala permasalahan harus diketahui, dimengerti, dipahami
penyebab sesungguhnya, misalnya; munculnya paham- paham radikalisme, intoleran,
ektrimisme, anarkhisme, terorisme, dll tidak mustahil disebabkan pembiaran dan
akomodasi regulasi menyimpang dari prinsip kebangsaan Pluralistik-Multikultural
yang dijamin Pancasila, UUD RI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) melalui regulasi (UU, Perda) sektarian-primordial
atas sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) serta politik
identitas dipaksakan di ruang publik (negara-red) akhir-akhir ini.
Karena itu, bila Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan seluruh
anak bangsa berkeinginan kuat untuk menyelesaikan karut-marut berbangsa dan
benegara maka tidak ada jalan lain selain meluruskan segala penyimpangan,
penyelundupan regulasi bias dan bertentangan dengan prinsip kebangsaan
Pluralistik-Multikultural disepakati para pendiri bangsa (fouding fathers) agar
"Indonesia Taman Sari Bangsa" tempat tumbuh berkembang kebhinnekaan
Indonesia tidak sekadar retorika dan pelipur lara hati gunda gulana.
Kearifan budaya, kearifan lokal "Litok Aek di Jae
Tinghiron tu Julu" adalah solusi dan pemecahan masalah berdasarkan adat
budaya Nusantara perlu direvitalisasi dan direaktualiasi warisan leluhur harus
segera dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan bangsa saat ini.
Kembalilah ke jati diri bangsa Indonesia...!!! Bravo
Indonesia....!!! Salam introspeksi diri....!!! Horas.....!!! Salam NKRI.....!!!
(tum)
Penulis adalah: Pengamat budaya batak dan penulis buku