WahanaNews.co I Ketua Yayasan Percepatan Pembangunan
Kawasan Danau Toba (YP2KT), Laurensius Marpaung, menyebut telah terjadi
pencemaran air dan udara akibat kehadiran PT. Toba Pulp Lestari (TPL).
Baca Juga:
Bupati Pakpak Bharat Terima Bantuan Taman Dancing Fountain dari PT. TPL
Hal itu juga diungkapkan Laurensius saat kunjungan
perwakilan masyarakat kawasan Danau Toba yang tergabung dalam Aliansi GERAK
Tutup TPL ke Jakarta, menemui Ketua MPR RI, Bamsoet.
Laurensius Manurung mengatakan kampungnya, berjarak sekitar
5 Km dari lokasi pabrik PT TPL di Parmaksian, Porsea, Kabupaten Toba.
Baca Juga:
PT TPL Sektor Habinsaran Berikan 30.000 Bibit Kopi dan Adakan Pelatihan
"Jadi bau cemaran dari TPL, kami sudah merasakan. Bau
sekali. Kami pun merasakan korban TPL, karena keponakan saya, Ir. Panuju
Manurung, korban tewas di Porsea dalam unjuk rasa di Porsea pada tanggal 22
November 1998 lalu," ucap Laurensius.
Masih menurut Laurensius, sebelum PT TPL beroperasi di tahun
1987, pertanian di Kawasan pabrik sangat bagus. Namun setelah masuknya Indorayon
(PT IIU), terjadilah pencemaran. Air bau busuk, pertanian rusak, produksi padi
menurun, ternak mati. Bahkan atap rumah warga yang berbahan seng, keropos.
Dalam aspek sosial budaya, ia meneruskan, TPL diduga menerapkan politik pecah-belah di kalangan
masyarakat.
"Satu disusupkan ke satu kelompok, untuk melawan kelompok
lain. Lalu berantam, demikianlah kondisi saat ini," keluh Laurensius.
Perwakilan masyarakat adat Lamtoras Sihaporas Kabupaten
Simalungun, Domu D. Ambarita menyampaikan, kehadiaran PT TPL, hingga saat ini
masih sering menimbulkan kekerasan yang mengorbankan rakyat.
"Selain kejadian tindak kekerasan di desa Natumingka
baru-baru ini, tahun 2019 lalu, juga terjadi di Sihaporas. Ada warga jadi
korban, termasuk anak 3 tahun 6 bulan, tetapi yang diproses hukum oleh polisi
adalah rakyat. Dua warga masuk penjara, sedangkan pekerja dari TPL tidak
tersentuh hukum," kata Domu. (tum)