Oleh: Drs. Thomson Hutasoit
Kearifan budaya Batak Toba mengajarkan kepedulian, simpati,
empati, kesetiakawanan, kepekaan terhadap penderitaan orang dan/atau pihak
lain, tolong-menolong, bahu-membahu, gotong-royong terutama saat terjadi
musibah atau bencana, baik bencana alam maupun bencana non alam adalah "Ni
Harat Jarijari Mangampir tu Botohon".
Baca Juga:
Politik Uang Merusak Nilai Estetika Masyarakat Lokal
Ni Harat Jarijari Mangampir tu Botohon dalam terjemahan
bebas ialah bila jari tangan tergigit akan terasa kebas pada lengan tangan,
artinya sekalipun jari tangan yang tergigit akan terasa dan terpengaruh ke
lengan yang tak terkena gigit sama sekali.
Baca Juga:
Perdata Tunda Pidana atau Pidana Tunda Perdata?
Analogi ungkapan kearifan budaya (culture wisdom)
atau kearifan lokal (local wisdom) warisan leluhur Batak Toba yang
merupakan salah satu dari ribuan kearifan budaya tumbuh subur di bumi Nusantara
telah membentuk karakter pola pikir dan pola tindak anak-anak bangsa Indonesia
dalam menghadapi peristiwa-peristiwa di luar situasi kondisi normal atau tak
terduga.
Mindset atau pola pikir dan pola tindak masyarakat tentu
tidak terlepas dari budaya (culture) yang dianut masyarakat atau
komunitas bersangkutan.
Pola pikir dan pola tindak budaya individualis yang dianut
masyarakat barat seperti; individualistis, hedonis, konsumtif, materialistis,
motif profit, unsolider, serta mengutamakan logika atau nalar sungguh sangat
jauh berbeda dengan budaya kolektif masyarakat timur yang cenderung dilandasi
sentuhan hati nurani ataupun perasaan sebagaimana digambarkan
kearifan-kearifan budaya tumbuh subur di bumi Nusantara.
Dalam budaya individualis, kebebasan individu sering kali
lebih penting dari kepentingan kelompok, dan identitas diri sering kali
didefinisikan sebagai sekumpulan trait kepribadian.
Sedangkan dalam budaya kolektif, keharmonisan kelompok
sering kali lebih penting daripada keinginan individual dan identitas diri
didefinisikan dalam konteks hubungan pribadi dan masyarakat. (Hofstede dan
Bond, 1988; Markus dan Kitayama, 1991; Triandis, 1996).
Dalam budaya kolektif saling percaya, saling menghormati,
saling menghargai menjadi elemen fundamental untuk membentuk keakraban antar
sesama. Sebab, tanpa itu akan timbul saling curiga dan saling tak percaya yang
menimbulkan gap atau sekat-sekat pemisah antar individu dengan mindset
masing-masing.
Keakraban hanya terjadi bila semua bersedia untuk
mengungkapkan perasaan dan pikiran secara terbuka.
Menurut Deutsch (1958), harga diri dan otoritarianisme
mempengaruhi percaya. "Orang yang harga dirinya positif akan cenderung
memercayai orang lain, sebaliknya orang yang mempunyai kepribadian otoriter
cenderung sukar mempercayai orang lain".
Ada tiga faktor utama yang dapat menumbuhkan sikap percaya
atau mengembangkan komunikasi yang didasarkan pada saling percaya: menerima,
empati, dan kejujuran.
"Menerima adalah kemampuan berhubungan dengan orang
lain tanpa menilai dan tanpa berusaha mengendalikan. Menerima adalah sikap yang
melihat orang lain sebagai manusia, sebagai individu yang patut dihargai" (Anita
Taylor, 1977:193).
Menerima tidaklah berarti mentetujui semua perilaku orang
lain atau rela menanggung akibat-akibat perilakunya. Menerima berarti tidak
menilai pribadi orang berdasarkan perilakunya yang tidak kita senangi. Betapa
pun jeleknya perilakunya menurut persepsi kita, kita tetap berkomunikasi dengan
dia sebagai persona, bukan sebagai obyek.
"Empati adalah faktor kedua menumbuhkan sikap percaya
pada diri orang lain. Empati dianggap sebagai memahami orang lain yang tidak
mempunyai arti emosional bagi kita" (Freud, 1921).
Dalam empati, kita tidak menempatkan diri kita pada posisi
orang lain; kita ikut serta secara emosional dan intelektual dalam pengalaman
orang lain; Berimpati artinya membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa
orang lain. Dengan empati kita berusaha melihat seperti orang lain melihat,
merasakan seperti orang lain merasakannya.
"Kejujuran adalah faktor ketiga menumbuhkan sikap
percaya. Menerima dan empati mungkin saja dipersepsikan salah oleh orang lain.
Sikap menerima kita dapat ditanggapi sebagai sikap tak acuh, dingin dan tidak
bersahabat; empati dapat ditanggapi sebagai pura-pura.
Supaya ditanggapi sebenarnya, kita harus jujur mengungkapkan
diri kepada orang lain. Kita harus menghindari terlalu banyak
"penopengan" atau "pengelolaan kesan" (Jalaluddin
Rakhmat, 1985).
Kembali ke judul tulisan "Ni Harat Jarijari Mangampir
tu Botohon" merupakan kearifan budaya Nusantara telah membentuk karakter,
sikap, perilaku peka terhadap penderitaan orang dan/atau pihak lain dengan rasa
iba, sedih, simpati, empati, peduli, solidaritas, kesetiakawanan, serta tanggap
bantu- membantu, tolong-menolong, topang- menopang, gotong-royong dengan
kapasitas masing-masing karena turut merasakan perasaan dan penderitaan orang
dan/atau pihak lain, tanpa sekat-sekat pembatas.
Kearifan budaya "Ni Harat Jarijari Mangampir tu
Botohon" seharusnya menjadi salah satu kekuatan maha dahsyat dalam
menghadapi wabah pandemi covid-19 sedang dihadapi Indonesia maupun seluruh
negara-negara di dunia, sehingga tidak ada tak mau tau, acuh tak acuh, apalagi
menambah kebingungan, kecemasan, ketakutan, kepanikan dengan berita-berita hoax
atau kebohongan, fitnah, hujat, hasut, provokasi, agitasi, nyinyir,
cemeti, cemooh, ujaran kebencian bermasker hipokritisme, munafik,
halusinasi, paranoid, dll.
Sungguh amat sangat disayangkan dan disesalkan munculnya
sikap perilaku tak terpuji dan tak beradab yang masih tega melakukan
"Mandurung di aek na litok" atau mengambil kesempatan dalam
kesempitan seperti: menimbun obat-obatan, menimbun oksigen, korupsi dana covid-19,
korupsi dana stimulan perekonomian, penyelewengan kekuasaan, dll demi meraup
keuntungan pribadi, kelompok, golongan, serta cari panggung politik di saat
republik dilanda bencana kemanusiaan sangat mengerikan.
Bila mereka masih memiliki simpati, empati, kepedulian,
kepekaan, kesetiakawanan, solidaritas, serta nurani kemanusiaan maka mereka
tidak akan tega melakukan tindakan tak terpuji dan tak beradab ketika keluarga,
kerabat, saudara-saudaranya sesama anak bangsa berjuang meregang nyawa
menghadapi ganasnya wabah pandemi covid-19 sangat mematikan.
Inilah potret karakter mental, moral, sikap, perilaku sangat
membuat miris dan menyedihkan dari segelintir orang dan/atau pihak telah
meninggalkan dan menanggalkan kearifan budaya Nusantara "Ni Harat Jarijari
Mangampir tu Botohon" sebagaimana diwariskan leluhur Batak Toba.
Mari kita kembalikan nilai-nilai luhur kearifan budaya
Nusantara untuk menyelamatkan Indonesia tercinta dari ancaman keutuhan bangsa
dan survival negara dari aneka persoalan dalam berbangsa dan bernegara. (tum)
Penulis adalah: Pengamat budaya batak dan
penulis buku