Oleh: Drs. Thomson Hutasoit
Baca Juga:
Mark-Up Tanah Ratusan Miliar, KPK Sita Rumah Mewah Salomo Sihombing di Medan
Tiga tahun lalu (2019) saya kaget atas undangan minum kopi
dari dua orang putera terbaik Marga Hutasoit,
Pdt. Marhasil Hutasoit, M.Th, dan Pdt. Hotman Hutasoit, M.Th, di satu
tempat di Jalan Gatot Subroto Medan.
Setelah sampai di tempat saya bertanya kepada Pdt. Marhasil
Hutasoit, M.Th, dosen STT ABDI SABDA dan Pdt. Hotman Hutasoit, M.Th, Sekum PGI
Sumatera Utara ketika itu dan kini Sekjend Huria Kristen Indonesia (HKI).
Baca Juga:
Terkait Korupsi Lahan Rorotan, KPK Sita Satu Rumah Mewah di Medan
Sebagai undangan minum kopi sore saya bertanya kepada hamba
Tuhan itu mengapa mengundang saya dan apa topik ingin dibicarakan karena saya
ketika itu Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota
Medan Sekitarnya periode 2012-2020.
Sambil minum kopi kedua hamba Tuhan melontarkan topik
diskusi terbatas menyoroti degradasi dan dekadensi karakter mental, moral,
sikap perilaku yang terjadi akhir-akhir ini.
Saya menjawab memperbaiki degradasi dan dekadensi karakter
mental, moral, sikap perilaku sesungguhnya adalah tugas para hamba Tuhan dan
tokoh agama melalui siraman rohani yang baik dan benar.
Dua putera terbaik Marga Hutasoit memberi jawaban sangat
mengagetkan, memperbaiki degradasi dan dekadensi karakter mental, moral, sikap
perilaku jauh lebih efektif jika dilakukan melalui pendekatan budaya (culture
approach) yang menjadi karakter jati diri spesifik warisan leluhur bumi
Nusantara.
Setiap suku, etnik, bangsa memiliki adat budaya ciri khas
masing-masing membedakannya dengan
komunitas lain.
Adat budaya telah mendarah daging pada suatu komunitas akan
memunculkan karakter perilaku sesuai nilai-nilai luhur adat budaya dijunjung
tinggi pada komunitas bersangkutan yang belum tentu sama dengan komunitas lain.
Salah satu contoh adat budaya bumi Nusantara ialah adat
budaya Batak Toba yang hingga kini masih dijunjung tinggi, baik di daerah
asal-usul (Bona Pasogit) maupun daerah Diaspora (Parserahan) seperti falsafah
Dalihan Na Tolu (DNT); Manat Mardongan Tubu, Somba Marhulahula, Elek Marboru,
dll.
Ketika seseorang generasi Batak Toba tidak mengerti,
memahami Dalihan Na Tolu (DNT) maka yang bersangkutan tidak pantas dan layak
disebut Batak Toba karena tidak mampu lagi bertutur kata, berinteraksi dengan
baik dan benar sesuai aturan partuturan Batak Toba.
Salah satu tata krama sopan santun berbicara yang hilang
belakangan ini ialah tidak lagi terlebih dahulu mohon maaf (Marsantabi-red)
sebelum mengutarakan sesuatu pendapat maupun menyela, menginterupsi pembicaraan
orang lain.
Menyerocos, nyelonong berbicara tanpa diminta atau
dipersilahkan adalah cermin karakter perilaku kurang sopan dan sangat
dipantangkan pada Batak Toba. Mungkin pada komunitas lain hal seperti itu
tidaklah jadi masalah.
Adat budaya adalah aturan perilaku dijunjung tinggi
sekaligus rambu-rambu (ruhut-ruhut) membentengi setiap orang agar tidak bias
dan menyimpang dari tatanan komunitas telah disepakati dan dijunjung tinggi
serta diwarisi turun-temurun dari leluhur.
Menurut KBBI (2007) Adat ialah 1) aturan (perbuatan dsb)
yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; 2) cara (kelakuan dsb) yang sudah menjadi
kebiasaan; 3) wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai- nilai budaya,
norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi satu
sistem.
Budaya ialah; 1) pikiran: akal budi; 2) adat- istiadat; 3)
sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); 4) sesuatu
yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar dirubah.
Peradaban ialah; 1) kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir
batin; 2) hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan satu
bangsa.
Adab ialah kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan;
akhlak sesuatu komunitas atau bangsa membedakannya dengan komunitas atau bangsa
lain.
Sekaitan dengan judul tulisan, "MENGHANCURKAN ADAT BUDAYA
MENGHILANGKAN PERADABAN" adalah upaya-upaya mabuk budaya luar ingin
menghancurkan nilai-nilai luhur adat budaya Nusantara dan menggantikannya
dengan adat budaya asing bertujuan menghilangkan peradaban bangsa Indonesia
menjunjung sopan santun, kehalusan dan kebaikan budi pekerti, ramah-tamah,
saling menghormati, saling menghargai kebhinnekaan Indonesia.
Karena itu, Wejangan Bung Karno mengatakan;
"Kalau jadi Hindu janganlah jadi India, Kalau jadi
Islam janganlah jadi Arab, Kalau jadi Kristen janganlah jadi Jahudi. Tetaplah
jadi orang Nusantara dengan adat budaya yang kaya raya ini. Musuh terberat itu
rakyat sendiri: Rakyat yang mabuk akan budaya luar, yang kecanduan agama yang
rela membunuh bangsa sendiri demi menegakkan budaya asing" sungguh benar
adanya.
Tidak ada budaya agama, yang ada adalah budaya komunitas
ditempat agama itu lahir.
Ketika agama menyebar ke daerah atau negara lain maka budaya
komunitas di tempat agama itu ikut terbawa ke tempat persebaran agama tersebut.
Bila diperhatikan cermat dan seksama apa yang dikatakan Bung
Karno sesungguhnya adalah warning keras mengantisipasi "PENGHANCURAN ADAT
BUDAYA NUSANTARA MENGHILANGKAN PERADABAN INDONESIA" dari pihak-pihak mabuk
budaya asing, kecanduan agama yang rela membunuh bangsa sendiri untuk
menegakkan budaya asing bertujuan menghilangkan peradaban dan jati diri bangsa
Indonesia.
Membuang dan menghilangkan adat budaya, peradaban bangsa sendiri, mengimpor,
mengagung-agungkan, mendewa-dewakan adat budaya, peradaban bangsa lain adalah
karakter perilaku sangat MEMALUKAN dan menjijikkan hanya pantas dilakukan
manusia tak berjati diri dan tak beradab.
Menghancurkan adat budaya menghilangkan peradaban adalah salah
satu bentuk "Genosida" non fisik harus dilawan keras masyarakat
bangsa beradat, berbudaya, beradab sepanjang masa.
Terima kasih Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membentengi
ADAT BUDAYA, PERADABAN INDONESIA dari perusak, penghancur yang ingin
menghilangkan Peradaban Indonesia warisan leluhur Nusantara serta mengganti
dengan adat budaya asing tak sesuai karakter kepribadian bangsa Indonesia.
Salut dan bangga padamu sang Presiden Jokowi sebagaimana
salut dan bangganya kepada Bung Karno telah mempersatukan
Pluralisme-Multikultural dalam bingkai
kebangsaan Pancasila 1 Juni 1945 menjadikan "Indonesia Taman Sari
Bangsa" tempat tumbuh berkembang adat budaya seluruh anak bangsa, tanpa
kecuali.
Indonesia "satu untuk semua, semua untuk satu, semua
untuk semua" untuk menjamin equality before the law berbangsa dan
bernegara. (tum)
Penulis adalah pemerhati pembangunan dan sosial
budaya