WahanaNews.co | Komisi Pemberantasan Korupsi diminta untuk menelisik pembebasan tanah Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta dibeberapa lokasi di wilayah Provinsi DKI Jakarta senilai Rp1.684.094.028.520,00 dengan realisasi senilai Rp1.244.558.919.747,00 atau 73,90% dari anggaran.Adapun anggaran tersebut dialokasikan untuk pengadaan tanah ruang terbuka hijau taman, ruang terbuka hijau hutan, ruang terbuka hijau makam, pembayaran hutang daerah BOP tanah untuk RTH taman, pembayaran hutang daerah BOP tanah untuk RTH makam.Kuat dugaan proses pembebasan tanah pada Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta tidak jauh beda dengan kasus pengadaan tanah di Munjul, Jakarta Timur, Tahun Anggaran 2019 yang menjerat mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan dan saat ini telah dilakukan penahanan di Rutan Pomdam Jaya Guntur.Dikutip dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi DKI Jakarta terdapat beberapa permasalahan yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara, diantaranya:- Perhitungan jumlah mandays berdasarkan Pedoman Standar Imbalan Jasa Penilaian Tahun 2017 dengan yang tercantum dalam kontrak KJPP diketahui terdapat kelebihan jumlah mandays atas biaya personel senilai Rp1.015.215.000,00. Hal tersebut disebabkan Kepala Unit Pengadaan Tanah Kehutanan tidak tertib dalam menjalankan SOP Pengadaan Tanah untuk Pembangunan RTH sebelum pengadaan jasa penilaian ganti rugi pengadaan tanah.- Tidak membuat analisa perhitungan yang jelas atas kebutuhan jumlah mandays personel dalam HPS maupun RAB untuk melaksanakan penilaian ganti rugi pengadaan tanah dan tidak cermat dalam melakukan verifikasi atas kelengkapan kewajaran jumlah mandays biaya personil dengan mengacu pada standar yang dibuat oleh MAPPI.- Pembebasan lahan bidang tanah di Jalan Kecapi RT 013 RW 005 Kelurahan Jagakarsa dan RT 005 RW 003 Kelurahan Setu belum memperhitungkan bidang tanah tidak Efektif seluas minimal 195 m² Senilai Rp1.150.500.000,00.- Belum terdapat skala prioritas dalam penentuan lokasi tanah yang akan dibebaskan, penyusunan dan pelaporan kajian teknis oleh UPT tidak memadai, terdapat kajian teknis yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.- Terdapat kajian teknis dengan hasil kurang memenuhi syarat sebagai RTH namun tidak dijadikan acuan dalam pelaksanaan pengadaan lahan dan UPT tidak pernah mengirimkan hasil kajian teknis kepada Gubernur.- Pengadaan Tanah Pemakaman Umum Seluas 11.165 m2 di Jalan Rorotan Jakarta Utara oleh Dinas Kehutanan Belum Sesuai Ketentuan.- Dinas Kehutanan pada tahun 2019 melakukan pengadaan tanah Ruang Terbuka Hijau (RTH) Makam atau tanah untuk areal Tempat Pemakaman Umum (TPU) pada lima lokasi seluas 27.737 m2 senilai Rp156.067.002.500,00.Dari lima lokasi tersebut, tiga lokasi diantaranya berada di Jalan Rorotan, Cilincing Jakarta Utara seluas 11.165 m2 (SHM) ke tiga lokasi tersebut atas nama Ba senilai Rp29.866.375.000,00, yang telah dibayarkan pada tanggal 24 Juli 2019 berdasarkan bukti SP2D Nomor 0008279/SP2D/VII/2019.Hasil penelusuran atas pengadaan Tanah Pemakaman Umum di Jalan Rorotan, Cilincing Jakarta Utara, ditemukan pengadaan tanah yang tidak sesuai ketentuan, diantaranya:Pengadaan tanah tidak mempertimbangkan kesesuaian zona pemanfaatan dan peruntukan lahan sebagaimana diatur dalam Perda Provinsi DKI No. 1 Tahun 2014 tanggal 14 Februari 2014 Tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi (PZ).Berdasarkan Peta Operasional RDTR dan PZ tanggal 21 Mei 2019, Kepala Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan (CKTRP) DKI Jakarta menginformasikan bahwa bidang tanah yang akan dibeli oleh Dinas Kehutanan berada pada Zonasi atau peruntukan untuk pembangunan rumah kecil dan besar (R.3 dan R.4), untuk taman kota/ lingkungan (H.2) dan prasarana jalan.Hal itu menunjukkan bahwa tiga lokasi tanah yang direncanakan akan dibeli oleh Dinas Kehutanan tersebut di atas tidak memenuhi syarat atau tidak sesuai peruntukan karena tidak berada pada Zona Pemakaman atau TPU (H.3) seperti yang direncanakan dan dibutuhkan.Walaupun lahan yang akan dibeli tidak sesuai dengan Peta Operasional RDTR dan PZ, namun proses pengadaan lahan tetap berjalan sampai dengan proses tandatangan Surat Pelepasan Hak (SPH) dan realisasi pembayaran ganti rugi kepada Sdr. Ba senilai Rp 29.866.375.000,00.Pembayaran ganti rugi tersebut merujuk pada hasil musyawarah yang mengacu pada nilai penggantian pasar yang dibuat oleh KJPP AKR, dimana aset yang dinilai tersebut adalah aset dengan peruntukan sesuai Peta RDTR/PZ-nya yaitu Rumah Kecil dan Besar (R.3 dan R.4) yang tentu saja akan harga per meternya akan lebih tinggi daripada aset yang zonasinya adalah Pemakaman (H.3).Dalam laporan hasil kajian awal yang disampaikan kepada Gubernur pada tanggal 27 Maret 2019, Kepala Dinas Kehutanan tidak menginformasikan data mengenai kesesuaian rencana lahan yang akan dibeli dengan RTR serta RDTR dan PZ. Data tersebut merupakan persyaratan yang harus ada dan harus diinformasikan kepada Gubernur sesuai dengan ketentuan Pasal 55 ayat (2) Pergub No. 82 Tahun 2017. Sehingga berdasarkan data tersebut Gubernur dapat memberikan arahan/disposisi menolak atau melanjutkan proses pengadaan tanah sesuai prosedur yang berlaku.Walau demikian proses pengadaan tanah tetap dilanjutkan meskipun tidak ada arahan/disposisi Gubernur dan tidak ada laporan kepada Gubernur berupa hasil klarifikasi atas persyaratan peruntukan/zonasi tanah yang akan dibeli tidak sesuai RDTR dan PZ.Pada tanggal 27 Maret 2019, Kepala Dinas Kehutanan telah mengirimkan Surat (Nota Dinas) kepada Gubernur Nomor 1453/076.22 perihal kajian awal hasil pengecekan berkas dan survey lokasi tanah Jalan Rorotan yang ditawarkan oleh masyarakat untuk perluasan lahan terbuka hijau makam (TPU) layak untuk diproses ketahap berikutnya. Namun, penentuan bahwa lahan layak untuk dibeli pada surat tersebut belum mengacu pada kajian teknis atas kesesuaian terhadap rencana pemanfaatan lahan sesuai dengan kondisi faktual di lapangan.Hasil pengamatan wahananews di lapangan menunjukkan bahwa lahan tidak layak untuk dibeli karena kondisi lahan masih berupa empang/sawah dan banjir pada saat musim hujan, sehingga memerlukan biaya besar untuk proses pematangan lahan.Perlu diketahui bahwa hasil kajian teknis atas perencanaan penyediaan lahan RTH Kota Jakarta, diantaranya ditetapkan bahwa perencanaan penyediaan lahan RTH harus mempertimbangkan antara lain kondisi fisik lahan yang akan dibeli tidak perlu proses pematangan lahan yang memerlukan biaya besar dan jika proses perataan/pematangan lahan memerlukan biaya yang cukup mahal, sebaiknya dicari lahan yang relatif siap bangun.Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa lahan berada minimal dua meter dibawah eksisting jalan utama, sehingga masih memerlukan biaya urugan tanah padat untuk proses pematangan lahan. Lokasi tanah jauh dari eksisting jalan utama (Jalan Rorotan IX), yaitu sekitar minimal 500 meter masuk ke dalam, karena lokasi lahan berada di tengah sawah/rawa.Sementara untuk menuju lokasi tanah tidak memiliki akses jalan yang memadai. Kondisi jalan masih berupa urugan tanah/sirtu dan hanya bisa dilalui dengan jalan kaki dan kendaraan roda dua. Walaupun kondisi lahan yang ditawarkan tidak segera dapat dibangun (tidaksiap pakai) serta tidak sesuai dengan rujukan dalam perencanaan teknis pengembangan dan pembangunan RTH, namun proses pengadaan tanah tetap dilanjutkan sampai dengan proses pembayarannya.Berita ini masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut, wahananews.co masih berusaha untuk menemui pejabat terkait pada Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta. Bersambung (JP)