Oleh: Drs. Thomson Hutasoit
Manat Unang Tartuktuk Jamot Unang Tarrobung dalam
bahasa Indonesia diartikan: Hati-hati supaya jangan tersandung, waspada supaya
jangan terjerembab ke dalam lobang.
Baca Juga:
Banjir Landa Kota Binjai, Sejumlah TPS Ditunda Untuk Melakukan Pemungutan Suara
Mengeluarkan atau menerbitkan suatu kebijakan publik (KP)
dalam situasi kondisi sulit, rumit, genting, darurat tentu tidaklah mudah dan
gampang karena harus mempertimbangkan, memperhitungkan dampak kebijakan, baik
positif maupun negatif yang kadangkala kontradiktif satu sama lain.
Baca Juga:
Aktivis Alumni Mahasiswa Jakarta Raya Dukung Al Haris - Sani di Pilgub Jambi 2024
Dalam situasi kondisi "Simalakama; dimakan mati ibu tak
dimakan mati ayah" menjadikan pengambil kebijakan (decation maker) harus
mempertimbangkan, memperhitungkan segala kemungkinan secara holistik berdasarkan
kajian, analisis komprehensif paripurna berbasis data, fakta, bukti empirik
tervalidasi agar kebijakan publik (KP) benar- benar solusi riil dan pemecahan
masalah (problem solving) atas permasalahan yang ada.
Leluhur Batak Toba dengan kecerdasan, kebrilianan,
kejenialan telah memberi pedoman sekaligus warning dalam mengeluarkan,
menerbitkan kebijakan publik melalui ungkapan kearifan budaya (culture wisdom),
kearifan lokal (local wisdom) "Manat Unang Tartuktuk Jamot Unang
Tarrobung" dalam terjemahan bebas "hati-hati supaya jangan
tersandung, waspada supaya jangan terjerembab ke dalam lobang."
Pikir matang mendalam dan mendetail barulah bertindak, bukan
bertindak duluan baru pikirkan kemudian apa resiko atau dampak tindakan itu.
Ada peribahasa klasik mengatakan, "Pikir dahulu
pendapatan sesal kemudian tak berguna" yang memiliki korelasi makna
kearifan budaya Batak Toba "Ni Langha tu Jolo Tinailihon tu Pudi"
karena tindakan apapun yang dilakukan pasti akan berdampak, baik positif maupun
negatif atau buruk.
Kehati-hatian, kecermatan, akurasi, dan kewaspadaan dalam
merumuskan kebijakan publik (KP) dengan "Manat Unang Tartuktuk Jamot Unang
Tarrobung" akan menjamin kualitas kebijakan publik untuk memberi solusi
dan pemecahan masalah relatif lebih tepat dan akurat serta berhasil.
Sebaliknya, kebijakan publik (KP) yang dilahirkan
grusa-grusu, serampangan, tak cermat, asal-asalan dengan dalil menggampangkan
masalah tanpa kajian, analisis mendalam dan mendetail akan berpotensi
menimbulkan masalah lebih rumit, sulit, dan kompleks.
Meminjam pendapat William Dunn ahli kebijakan publik (KP)
mengingatkan, "Walaupun rumusan masalah sudah benar, maka belum tentu
rumusan pemecahannya benar. Tetapi kalau rumusan masalahnya salah, maka upaya
apapun yang dilakukan tetap sia-sia dan tidak mencapai tujuannya, maka
akibatnya muncul masalah baru bertumpu ke masalah lama dan pemecahannya menjadi
jauh lebih sulit".
Dalam memantapkan perumusan kebijakan publik, James E.
Anderson merumuskan sebagai berikut:
a. Agenda setting yang terencana dengan baik untuk
memperoleh kesepakatan dari stakeholders dan pemerintah tentang masalah yang
dihadapi.
b. Policy Formulation, membuka KP berupa UU, Perpu, Keppres,
Perda, dan sebagainya sesuai keperluan dan tingkat masalah untuk memecahkannya.
c. Policy Adoption, mensosialisasikan KP yang telah disahkan
untuk memperoleh komitmen stakeholders melaksanakannya.
d. Policy Implementation, KP dijalankan oleh semua yang
terkait, pemerintah dan stakeholders.
e. Policy Evaluation, mengevaluasi hasil pelaksanaan KP,
apakah sesuai yang diharapkan terutama bagi masyarakat (publik).
Dalam hal ini Prof. Dr. Mustadidjaja AR mengingatkan
bahwa dalam proses ini mengandung dua dimensi yaitu; Pertama, dimensi technical
analysis, suatu kegiatan yang penuh dengan data, fakta, informasi yang
dilakukan oleh pakar-pakar dari berbagai ilmu dan berpengalaman menggunakan
teknik-teknik tertentu. Kedua, dimensi sosial politik suatu kegiatan yang
melibatkan stakeholders publik yang diselenggarakan oleh sekelompok pakar dan
pemerintah yang terkait duduk dalam panitia dan menyerap aspirasi, keinginan
dari semua pihak yang terkait. Kadangkala aspirasi dan keinginan ini diutarakan
oleh kelompok-kelompok masyarakat yang ternyata tidak sejalan ataupun tidak
konsisten, maka pakar dan pemerintah mengalami kesulitan memutuskan
pilihan-pilihan atas aspirasi tersebut (Bonar Simangunsong dan Daulat Sinuraya,
2004).
Jika diperhatikan cermat dan seksama betapa sulit dan
rumitnya Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan, menerbitkan
kebijakan publik (KP) menghadapi gempuran wabah pandemi covid-19
memporak-porandakan Indonesia dan hampir seluruh negara-negara di dunia
sesungguhnya adalah pilihan buruk dari yang paling terburuk.
Bencana kemanusiaan multi dimensi; dimensi keselamatan jiwa
manusia, dimensi ekonomi, dimensi sosial politik yang tak ada satu negara pun
memprediksinya telah menimbulkan polemik, kebingungan, kecemasan, ketakutan,
kepanikan luar biasa ditengah kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara.
Kebijakan Publik (KP) "memanusiakan manusia"
Social Distancing (SD), Physical Distancing (PD), Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) yang bertujuan membangun kesadaran bersama agar dimensi
keselamatan jiwa manusia dan keselamatan ekonomi berjalan berbarengan telah
diplintir, dibelokkan dan disesatkan orang dan/atau kelompok tertentu dengan
tuduhan kejam, keji dan biadab "Pemerintah terlalu mempertuhankan
ekonomi" dan lain sebagainya sehingga tidak melakukan lockdown.
Belum lagi tindakan tak terpuji dan biadab "Mandurung
di Aek na Litok" melakukan korupsi, penimbunan obat, penimbunan oksigen,
penyimpangan bansos, penyelewengan kekuasaan pihak-pihak tak bertanggungjawab,
manuver politik dan curi panggung membuat KP Pemerintahan Presiden Jokowi sulit
menemukan solusi dan pemecahan masalah menangani wabah pandemi covid-19 hingga
saat ini.
Jajaran pemerintahan dari pusat hingga daerah serta seluruh
stakeholders yang seharusnya saling bahu-membahu, topang-menopang, kerjasama dan
sama-sama kerja, gotong- royong untuk menjalankan agenda setting sebagaimana
dikatakan James E. Anderson justru melakukan manuver-manuver politik, jebakan
batman dengan menebar hoax atau kebohongan, fitnah, hujat, hasut, provokasi,
agitasi, nyinyir, culas, cemooh, cemeti, ujaran kebencian membuat publik
semakin bingung, cemas, gelisah, ketakutan, panik, serta tidak percaya terhadap
pemerintah telah jungkirbalik menyelamatkan bangsa dan negara.
Menerapkan kebijakan publik (KP) PPKM DARURAT yang sangat
memukul kehidupan rakyat miskin perkotaan dan rakyat miskin pedesaan yang cari
nafkah pagi kebutuhan sore sungguh amat sangat sulit dan berat sehingga
Pemerintahan Presiden Jokowi harus mempertimbangkan, memperhitungkan matang
mendalam dan mendetail termasuk apakah diperpanjang atau tidak berpedoman pada
kearifan budaya Batak Toba, "Manat Unang Tartuktuk Jamot Unang
Tarrobung" agar bangsa ini terhindar dari dampak multidemensional yang
berpotensi mengancam keutuhan bangsa dan survival negara.
Hetrogenitas status ekonomi masyarakat harus menjadi unsur
penting dan fundamental sekalipun pemerintah mengucurkan jaring pengaman sosial
(social safty net) yang sangat jauh dari cukup memenuhi kebutuhan primer
masyarakat terdampak akibat PPKM Darurat, baik langsung maupun tak langsung.
Kearifan budaya, kearifan lokal Batak Toba, "Manat
Unang Tartuktuk Jamot Unang Tarrobung" masih tetap up to date dalam
merumuskan agenda setting atau kebijakan publik (KP) sepanjang masa.
Kembalikan kearifan budaya Nusantara sebagai jati diri
bangsa, solusi, serta pemecahan masalah (problem solving) di negeri tercinta. Bravo
Indonesia......!!! Badai pasti berlalu....Indonesia Pasti Menang Melawan
Covid-19....!!! Horas......!!! Salam
NKRI.....!!! Medan, 19 Juli 2021.
Penulis adalah: Pengamat budaya batak dan penulis buku