Hari ini tanggal 1 Mei kita Rayakan Hari Buruh Sedunia.
Dengan dan dalam kondisi yang serba sulit dan tidak menentu.
Baca Juga:
Hinca Panjaitan: Jaga, Rawat, Kembangkan Geopark Kaldera Toba
Covid-19 telah memukul dengan keras kehidupan dan kondisi
para buruh di seluruh dunia dan secara khusus di Indonesia.
Dimana sangat banyak yang dirumahkan atau diPHK atau dengan
kata lain kehilangan kesempatan untuk mendapatkan rejeki yang diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari untuk mengisi kebutuhan dapur.
Baca Juga:
Potensi Perpecahan Tinggi, MARTABAT Prabowo-Gibran Imbau Masyarakat Kawasan Otorita Danau Toba Bentuk 7 Kabupaten/Kota dan 300 Desa Baru Ketimbang Provinsi Tapanuli
Masa sulit untuk merayakan sebuah hari yang tidak lepas dari
kepentingan dan eksotisme banyak pihak yang nota bene ingin
muncul sebagai penyelamat atau penanggung kaum buruh.
Tapi jauh dari situ sebab segala struktur pekerjaan dibuat
atas prinsip kapitalisme yang brutal dan tak manusiawi, termasuk Undang Undang
yang menyudutkan para pekerja tanpa harapan akan kehidupan layak, dengan kata
lain elit melindungi dan menjagi kapital dan investasi mereka tanpa peduli
terhadap nasib para pekerja.
Semua dibumbui dengan ramuan penenang yang membiuskan dan
menutupi realitas dan sekaligus keserakahan.
Terjadi kekuasaan para konglomerat yang merapatkan diri
untuk menjamin tetap kaya dan kenikmataan. Tanah rakyat dijadikan "hutan
lindung", dijadikan "food state", dijadikan apa yang
mereka mau untuk mempertahankan kekayaan dan mengurangi kekuatan dan kedaulatan
rakyat.
Ekosistem pun diperkosa dan dijadikan lahan kenikmataan dan
keserakahan tanpa belas kasihan. Alam menderita kesakitan dan kesusahan tanpa
tanda kebangkitan.
Kaum buruh, manusia yang mencari kehidupan tetap susah diharinya
di hari perayaannya, panggung sandiwara, panggung kekuasaan.
Kepemimpinan seharusnya memainkan prinsip utama dalam karya
ini untuk mendesain yang terbaik, membangun dengan baik tanpa memikirkan hanya
diri sendiri dan kepentingan kelompok dan golongannya.
Kebaikan tidak ada sama sekali dalam subsidi tapi dalam
prisnsip "DISTRIBUSI YANG ADIL". Prinsip keadilan
distributif yang membuka ruangan dan kesempatan untuk yang kecil, untuk para
buruh yang ingin hidup bukan hanya dari remah remah tapi dari sebuah pekerjaan
layak dan gaji berkecukupan.
REVOLUSI MENTAL telah menjadi retorika dalam ingatan,
menjadi konsep kosong dan opium tanpa harapan.
Kepemimpinan harus mengedepankan prinsip kebenaran (jangan
main sembunyi dan diam), prinsip keadilan (jangan hanya menguntungkan yang
besar dan elit kekuasaan) dan bijaksana untuk dapat membangun kehidupan dan
kedaulatan rakyat yang telah memilihnya dengan harapan akan perubahaan. Salam
hari buruh".Salam para pejuang".Salam keadilan".!!!
(Samosir, 1 Mei 2021. Penulis adalah pemerhati Pembangunan
di Kabupaten Samosir)