WahanaNews.co I Aliansi Gerak Tutup TPL mendesak
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera menutup operasional PT Toba Pulp
Lestari (PT TPL).
Baca Juga:
Bupati Pakpak Bharat Terima Bantuan Taman Dancing Fountain dari PT. TPL
Rilis berita yang diterima WahanaNew.co Rabu (17/07/2021)
menyebutkan temuan investigasi KSPPM, AMAN Tano Batak, bersama Jikalahari
menemukan operasional PT TPL dinilai bertindak secara ilegal, melanggar
peraturan perundang-undangan, merusak lingkungan hidup dan merampas hutan tanah
adat masyarakat adat.
"Kita meminta Menteri LHK untuk tegas menyelesaikan
persoalan PT TPL di tanah batak. Sangat banyak kerusakan lingkungan dan
kerugian bagi masyarakat adat batak yang disebabkan oleh operasional PT TPL,"
Kata Roki Pas aribu, KSPPM.
Baca Juga:
PT TPL Sektor Habinsaran Berikan 30.000 Bibit Kopi dan Adakan Pelatihan
Sepanjang 2-16 Juni 2021 KSPPM, AMAN Tano Batak, bersama
Jikalahari melakukan investigasi di sektor Tele, Habinsaran, Padang Sidempuan
dan Aek Raja mendapatkan temuan lapangan dan dugaan pelanggarannya:
Pertama, areal kerja atau konsesi PT TPL illegal. Konsesi PT TPL berada di atas Kawasan Hutan
dengan Fungsi Lindung (HL), Fungsi Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK),
dan Areal Penggunaan Lain (APL) tidak dibenarkan merujuk pada UU 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja.
Hasil overlay GIS tim Jikalahari mencatat kawasan Perizinan
Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau IUPHHKHT PT TPL dengan fungsi kawasan
hutan menunjukkan areal PT TPL berada dalam kawasan Hutan Lindung (HL) seluas
11.582,22 hektar, Hutan Produksi Tetap (HP) 122.368,91 hektar, Hutan Produksi
Terbatas (HPT) 12.017,43 hektar, Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) 1,9
hektar dan Areal Penggunaan Lain (APL) 21.917,59 hektar.
Dari luas izin atau legalitas PT TPL seluas 188.055 hektar,
setidaknya 28 persen atau 52.668,66 hektar adalah ilegal karena berada di atas
HL, HPK dan APL.
Kedua, PT TPL melakukan penanaman dalam kawasan Hutan
Lindung di konsesinya.
Areal yang seharusnya menjadi kawasan yang dilindungi,
justru diubah PT TPL menjadi areal produksi. Ditemukan adanya penanaman
eukaliptus yang berdekatan dengan tanaman hutan alam. Tim investigasi tahun
2021 menemukan telah ditanami eukaliptus Sekitar 318 meter dari jarak
penebangan tahun 2017. Artinya, tanaman eukaliptus yang ditemukan tim
Investigasi 2021 bekas kayu alam yang ditebang oleh PT TPL.
Penebangan hutan alam kemudian ditanami eukaliptus
bertentangan dengan UU No 18 Tahun 2013 sebagaimana diubah dalam UU No 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja Pasal 36 No 12 yang mengubah ketentuan Pasal 82 ayat 3 huruf a, b dan c.
Ketiga, PT TPL melakukan penanaman di dalam konsesinya yang
berada dalam fungsi APL. Perusahaan kehutanan ini seharusnya mengajukan enclave
untuk mengeluarkan areal dengan fungsi APL dari izin konsesi mereka. areal
kerja PT TPL di dalam APL - Areal Penggunaan Lain umumnya berada di luar kawasan
hutan--bertentangan dengan UU Kehutanan maupun UU Pokok Agraria yang pada
prinsipnya APL berada di luar kawasan hutan, dan tidak boleh ada izin atau
perizinan berusaha kawasan hutan di APL. Wewenang mengelola APL yang berasal
dari kawasan hutan menjadi kewenangan Menteri ATR/BPN.
Keempat, PT TPL memanfaatkan pola Perkebunan Kayu Rakyat
(PKR) untuk menanam eukaliptus di luar izin konsesinya demi memenuhi bahan baku
produksi. Pola PKR ini memanfaatkan areal milik masyarakat yang dikerjasamakan
dengan PT TPL untuk ditanami eukaliptus.
Dalam kehutanan dikenal pola kerja sama antara masyarakat
dengan korporasi berupa Kemitraan Kehutanan merujuk pada Permenhut 39 Tahun
2013 tentang pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan.
Lalu, pada 2016 terbit P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial jo P9 Tahun
2021 tentang pengelolaan perhutanan sosial. Ringkasnya, kerja sama PT TPL
dengan pola PKR dalam areal konsesinya bertentangan dengan aturan
kehutanan.
Kelima, PT TPL menebang kayu hutan alam jenis Kulim dan Kempas
di dalam konsesinya. Ditemukan aktifitas pembukaan hutan alam, termasuk jenis
kulim dan kempas, yang diperuntukkan untuk areal penanaman bibit eukaliptus
baru di konsesi PT TPL sektor Habinsaran.
Jenis kayu Kulim dan Kempas termasuk pada tanaman yang
dilindungi sesuai dengan Permen LHK No 20 Tahun 2018 jo. Permen LHK No 106
Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas Permen LHK No. 20 Tahun 2018 tentang
Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, di mana Kempas dikeluarkan dari jenis
tumbuhan yang dilindungi.
Keenam, tanpa pengukuhan kawasan hutan Legalitas yang
illegal dan tidak legitimate atau tidak diakui masyarakat adat seharusnya
segera dikoreksi oleh pemerintah berupa melakukan pengukuhan kawasan
hutan.
Konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) diberikan berdasar peta
TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) 1982. Peta TGHK ini sifatnya memberikan
arahan alokasi kawasan hutan dan fungsinya. Statusnya dalam konteks tata
perencanaan kehutanan berupa "penunjukan" yang kemudian ditetapkan melalui
Surat Keputusan Menteri. Peta TGHK 1982 belum masuk ke status penunjukan.
Ketujuh, Banyak fasilitas umum seperti kantor pemerintah,
perkampungan, jalan lintas, pemakaman, kebun karet, sawit, kopi hingga sawah
berada dalam konsesi PT TPL sektor Padang Sidempuan.
Sebagian besar izin PT TPL di sektor Padang Sidempuan telah
ditempati masyarakat. Izin yang berada di Desa Pangkal Dolok Lama, Kecamatan
Batang Onang ini sebagian besar telah menjadi kawasan desa yang diatasnya
terdapat kebun masyarakat, fasilitas umum, Jalan Lintas Sosopan, pemukiman
masyarakat - hampir 1 Kecamatan Batang Onang dan seluruh kawasan Desa Pangkal
Dolok Lama berada dalam izin PT TPL sektor Padang Sidempuan - bahkan Kantor
Bupati Tapanuli Selatan berada di dalam izin konsesi yang dalam kawasan APL.
Temuan investigasi, PT TPL bekerja secara tidak sah
(illegal), berada dan beroperasi di atas kawasan yang ditetapkan sebagai hutan
lindung, HPK dan APL. Selain itu, pemberian izin PT TPL yang merujuk pada TGHK
dijalankan dengan proses ketidakpatuhan terhadap amanat pengukuhan kawasan
hutan, karena tidak melibatkan masyarakat adat di Kawasan Danau Toba.
Hal tersebut bertentangan dengan peraturan Kehutanan dan
Agraria di mana PT TPL seharusnya dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan
hukum yang berakibat pada tindakan pidana dan pencabutan perizinan berusaha.
"Dampak dari legalitas yang illegal sebabkan konflik dan
kekerasan terhadap masyarakat adat, lingkungan hidup rusak, ekonomi masyarakat
hancur, potensi ledakan konflik horizontal, hingga pembiayaan yang tidak layak
diberikan pada P TPL," Kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
Tentunya temuan Investigasi bersama KSPPM dan Aman Tano
Batak menjadi fakta kuat agar pemerintah dapat mengevaluasi izin konsesi PT
TPL, bahkan menutupnya.
Konflik sosial serta intimidasi dan kekerasan PT TPL
terhadap masyarakat adat begitu besar. Sepanjang 2020-2021 saja, setidaknya
terjadi 8 kali konflik dan menyebabkan korban 12 orang dan 9 orang terlapor
polisi. Selain itu, PT TPL juga mengintimidasi 3 komunitas (Huta/Kampung) untuk tidak bercocok tanam di atas wilayah
adatnya dan merusak tanamannya.
Roganda, Ketua Aman Tano Batak menyebutkan, kehadiran PT TPL
tak hanya sebabkan konflik dan kekerasan terhadap masyarakat. Penghancuran
hutan yang tadinya hutan alam menjadi tanaman eukaliptus berdampak pada
kerusakan lingkungan. Tidak hanya untuk
masyarakat sebagai pemilik hutan, tapi
juga berdampak ke daerah lainnya. Seperti yang terjadi Huta (kampung) Napa, Kecamatan Sipahutar,
Kabupaten Tapanuli Utara setelah penghancuran hutan mereka yang dilakukan oleh
PT TPL menyebabkan sumber air minum "Aek
Nalas" yang peruntukannya untuk sumber air minum masyarakat di desa dan juga Kecamatan
Sipahutar membuat air sering berlumpur dan kuning.
Kasus lain seperti Huta Natinggir, Nagasaribu, dan
Natumingka, kerusakan hutan karena penebangan hutan alam oleh PT TPL berdampak
pada sulitnya masyarakat mendapatkan air minum dan irigasi untuk persawahan.
Kesulitan air menyebabkan sawah berubah fungsi.
"Bukan hanya lingkungan, ekonomi masyarakat adat batak juga
mengalami penurunan serius. Sebelum kehadiran PT TPL, masyarakat di kawasan
Danau Toba hidup dari hasil hutan, berladang, beternak dan bersawah," kata
Roganda.
Namun saat ini, sumber mata pencaharian masyarakat adat di
wilayah konsesi mengalami penurunan.
"PT TPL menghancurkan lingkungan hidup dan memiskinkan masyarakat
adat. Karena masyarakat adat batak bergantung pada hutan alam yang dirusak oleh
PT TPL," Kata Roganda.
Aliansi Gerak Tutup TPL merekomendasikan
pemerintah untuk mencabut izin PT TPL di Kawasan Danau Toba dan segera lakukan
pengukuhan kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat adat dalam semua proses
pengukuhan kawasan hutan. (tum)