WahanaNews.co I Aliansi
Gerak (Gerakan Rakyat) Tutup TPL melakukan audiensi kepada Ketua MPR RI,
Bambang Soesatyo (Bamsoet), di Jakarta, Senin (31/05/2021).
Baca Juga:
Bupati Pakpak Bharat Terima Bantuan Taman Dancing Fountain dari PT. TPL
Pertemuan berlangsung dari Pukul 10.00 sampai dengan Pukul
11.20 WIB.
Hadir dalam pertemuan itu tujuh orang, yakni Wakil Ketua
Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan, Ketua
Umum Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) Maruap Siahaan, Ketua Yayasan
Percepatan Pembangunan Kawasan Danau Toba (YP2KT) Laurensius Manurung, Ketua
Forum Bangso Batak Indonesia, Ronsen Pasaribu.
Baca Juga:
PT TPL Sektor Habinsaran Berikan 30.000 Bibit Kopi dan Adakan Pelatihan
Kemudian perwakilan Lembaga Keturunan Ompu Mamontang Laut
Ambarita Sihaporas (Lamtoras) yang juga wartawan Domu D. Ambarita, Ketua
Nabaja/Ketua Umum LBH Naposo Indonesia, Darman Saidi Siahaan, serta Joe Marbun
dari YPDT.
Pada kesempatan itu, Ketua YPDT Maruap Siahaan, mengatakan PT TPL pernah ditutup tahun 1999.
Saat itu, masyarakat Danau Toba melalui YPDT yang dipimpin Prof. Midian Sirait
menyampaikan keluhan rakyat akan PT Inti Indorayon Utama (PT IIU, sekarang PT
TPL) kepada presiden Habibie.
"Sudah pernah ditutup. Lalu dibuka Kembali. Kehadirannya,
sejak 35 tahun lalu, sama saja, terlihat tidak ada perubahan. Tetap saja ada
konflik. Tetap ada pencemaran lingkungan hidup, dan perampasan hak tanah
masyarakat oleh negara," kata Maruap.
Ia mengaku heran, sebab banyak pihak menyebut TPL memberi
kontribusi besar untuk masyarakat.
"Padahal buktinya TPL tidak memberi PDRB (Produk Domestik
Regional Bruto) yang membaik, konflik berkepanjangan, dan merusak lingkungan
hidup. Karena kontribusi kepada negara dan masyarakat sangat kecil. Hutang
pajak triliunan, sementara dampak terhadap lingkungan hidup, dan konflik sosial-ekonomi
tinggi, jadi kami berharap PT TPL ditutup," kata Maruap
Tanah Adat Bukan Tanah Negara
Mantan Direktur Konflik Bandan Pertanahan Nasional (BPN)
yang juga Ketua Forum Bangso Batak Indonesia Ronsen Pasaribu, mengatakan hal
senada.
Ketika konflik terjadi, sebidang tanah diakui dua pihak.
Satu sisi, kehutanan mengakui itu wilayahnya, tetapi sebelumnya itu hutan adat
masyarakat.
"Oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, lahan
dikonsesikan kepada TPL, sementara rakyat untuk kepentingan perut. Bertani
sudah turun-temurun sejak lama," kata Ronsen.
Ia menyebut, ada dua dasar hukum sebagai litigasi untuk
tanah masyarakat adat, yakni Keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Mahkamah
Konstitusi.
"Keduanya menguatkan, tanah adat bukan tanah negara. Jadi
tanah adat, harus di-enclave, dikeluarkan dari konsesi TPL," kata
Ronsen. (tum)