Penulis : Eko Sulistyo Sejarawan & Komisaris PT PLN (Persero)
WahanaNews-Sumut | Indonesia kembali berduka dengan wafatnya Guru Bangsa, Buya Ahmad Syafii Maarif. Almarhum dikenal sebagai seorang cendekiawan muslim Indonesia yang visi dan kemanusiaannya menginspirasi banyak orang di Indonesia. Pada 2008, Buya pernah dianugerahi Penghargaan Ramon Magsaysay untuk Perdamaian dan Pemahaman Internasional, yang membuktikan kiprah dan pemikirannya diakui internasional.
Baca Juga:
Polres Simalungun Ringkus Tiga Pengedar Ekstasi di Kecamatan Bandar
Secara pribadi saya tidak pernah mengenal Buya. Perjumpaan saya dengan Buya terjadi sekitar 2014, saat mengantarkan Pak Jokowi saat itu belum presiden ke rumahnya yang sederhana di perkampungan di Sleman, Yogyakarta. Kesan saya, Buya adalah sosok yang bersahaja dan sangat menghargai tamunya, yang ditunjukkannya dengan menunggu Pak Jokowi, bukan di dalam, tapi di depan pintu rumahnya.
Meski tak kenal pribadi, secara intektual saya sudah akrab dengan pemikirannya saat menginjak semester dua di jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo. Kebetulan, Buya adalah dosen di Pascasarjana yang baru dibuka di UNS, jelang akhir 1980an. Walau bukan mahasiswa S-2, tapi diktat kuliah tulisan Buya untuk Pascasarjana UNS tentang “Filsafat Sejarah” dan “Sejarah Konstitusi” sudah saya baca dari teman-teman S-2 Sejarah UNS, anggota group diskusi di Solo.
Saat itu, pemikiran Buya, masih sebatas intelektual yang dipagari dengan keterangan “pengajar filsafat sejarah.” Maklum arus utama pemikiran intelektual muslim masih didominasi pandangan Nurcholish Madjid (1939-2005), Gus Dur (1940-2009) dan Amin Rais, untuk menyebut diantaranya. Dua nama pertama, yang mendahului Buya, juga sering mendapat gelar kehormatan sebagai “Guru Bangsa” karena pemikirannya tentang pluralisme, toleransi, dan kemajuan Islam di Indonesia.
Baca Juga:
Ibu di Deli Serdang Ditetapkan Tersangka Setelah Dua Kali Membunuh Anak Kandungnya
Islam dan Pancasila
Pemikiran Buya yang berpengaruh pada hubungan politik antara Islam dan negara, dapat dibaca dalam disertasinya di University of Chicago, "Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante" (1985). Karya ini menandai konstruksi pemikirannya tentang perlunya menyudahi pertentangan Islam dan Pancasila. Sehingga islamisasi di Indonesia tidak perlu lagi diperjuangkan “top-down” melalui pendirian Negara Islam, sebaliknya Buya lebih menyukai prosesnya dari bawah ke atas, melalui pendidikan dan demokratisasi.
Sejak saat itu, Buya tidak melihat Pancasila sebagai tandingan agama pada umumnya atau Islam pada khususnya. Sebaliknya, ia menganggapnya sebagai hadiah bangsa Indonesia dari para pendiri negara untuk mengatasi semua ancaman yang dihadapi negara yang baru merdeka. Bagi Buya formalitas agama sebagai negara bukanlah sesuatu yang substansial. Tujuan substansial suatu negara dalam Islam adalah untuk menegakkan keadilan, memelihara keamanan dan integritas negara, menjaga hukum dan ketertiban, serta memajukan kesejahteraan masyarakat.