Topik-topik inilah, yang menurut Prof. Herman L. Beck, dalam pengantarnya untuk biografi Buya, "Islam, Humanity and Indonesian Identity: Reflection on History" (2018), telah memainkan peran penting dan berkontribusi besar bagi kemajuan Islam dan keindonesiaan. Pada tahap selanjutnya, kiprahnya sebagai Ketua Umum Muhammadyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, menjadikan bintangnya naik dan gagasannya lebih kuat mempromosikan demokrasi, anti korupsi, pluralisme, dialog antar agama, perdamaian, sampai kesetaraan hak-hak perempuan.
Bagi Buya, demokrasi tidak dianggap sebagai ide eksklusif Barat. Dia menunjuk pada konsep Al-Qur'an tentang Syura (musyawarah bersama) sebagai bukti bahwa demokrasi melekat pada Islam. Dia juga menyebutkan fakta bahwa sejak kematian KH. Ahmad Dahlan, pemilihan memainkan peran penting dalam Muhammadiyah.
Baca Juga:
Kebakaran Tujuh Rumah di Parapat bermula dari lantai dua rumah makan ayam geprek
Dalam soal demokrasi, Buya juga merujuk pada Hatta (1902 - 1980), wakil presiden pertama Indonesia, yang selalu menjadi salah satu panutannya. Hatta pernah menyatakan, bahwa demokrasi di Indonesia memiliki tiga sumber utama. Gagasan Barat tentang sosialisme yang menganjurkan prinsip-prinsip humanisme, ajaran Islam tentang keadilan Tuhan dan kebutuhan untuk membangun persaudaraan universal, dan pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia didasarkan pada kolektivisme.
Selama menjabat Ketua Muhammadiyah, Buya juga terlibat dengan World Conference on Religion for Peace, organisasi global penganut berbagai agama dan kelompok agama untuk memajukan perdamaian dunia. Komitmen ini menunjukkan dedikasinya terhadap isu toleransi dan pluralisme, pada praksis di tingkat global. Ini juga yang mendorongnya mendirikan Maarif Institute, selepas menjabat Ketua Muhammadyah, untuk terus mempromosikan pluralisme, toleransi dan perdamaian.
Islam dan Keindonesiaan
Baca Juga:
DPO Pelaku Pembuangan Mayat Wanita di Kabupaten Karo ditangkap Jatanras Poldasu
Untuk menjawab persoalan Islam, Keindonesiaan, dan Kemanusiaan, Buya telah menulis biografinya yang diterbitkan oleh Mizan, "Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah" (2015). Pada 2018, buku ini juga diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Leiden University Press (2018), "Islam, Humanity and Indonesian Identity: Reflection on History." Penerbitan edisi Inggris ini penting agar pemikiran-pemikirannya sebagai cendekiawan Muslim terkemuka Indonesia, lebih diketahui dunia luar.
Dalam pengantarnya, Buya sendiri menyebut misinya menulis biografi ini terkait masa depan Indonesia. Dirasakannya kegelisahan yang mendalam tentang realisasi Indonesia yang masih gagal atas janji-janji kemerdekaan para pendiri bangsa. Kegelisahan inilah yang mendorongnya menulis renungan tentang sejarah, untuk masa depan bangsa.
Menurut Buya, sebagai penduduk mayoritas di Nusantara, umat muslim seharusnya tidak lagi mempersoalkan eratnya hubungan Islam, kemanusiaan, dan identitas Indonesia. Ketiganya harus diutarakan dalam satu nafas untuk memastikan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberikan solusi atas permasalahan bangsa, sebesar apapun.