1. Mau menomor satukan kejujuran dan tidak membohongi anak.
2. Menunjukkan sikap supertif dan tidak menuntut, menghakimi,memarahi atau pun menyalahkan anak.
3. Mampu menjaga emosi agar tetap kokoh dan tidak gampang panic saat beradapan dengan perilaku anak, entah itu tangisan, jeritan, kerewelan, atau pun sikap tantrum lainnya.
4. Matang dan tidak mudah terintimidasi untuk membalas perilaku anak dengan sikap kekanak-kanakan yang sama (entah itu ikutan menjerit, berteriak ataupun memukul).
5. Mau memfokuskan isi pembicaraan dengan anak kearah tujuan yang sama.
6. Menunjukkan sikap tulus dan mau memperhatikan sungguh-sungguh pembicaran anak,
7. Santai dan kasual tapi tidak kehilangan wibawa
8. Konsisten antara perilaku dan perkataan.
Komunikasi yang tidak efektif kerap dilakukan orang tua adalah komunikasi terpatahkan. Di sini sering kali pembicaraan dengan anak di paksa berakhir “dead lock”, dan tidak mendapat peluang untuk pembahasan yang lebih dalam dan personal.
Sikap orang tua cenderung menyudutkan anak ke posisi yang lebih rendah, lebih sepele atau lebih bodoh. Di mata orang tua, anak hanyalah sosok subordinat yang pendapatnya tidak perlu didengar, harga dirinya tidak perlu dijaga, pun perasaannya tidak perlu dihargai. Komunikasi terpatahkan bisa muncul dalam wujud gaya bicara yang menyalahkan, membandingkan, mengancam, mengkritik atau menyindir.
Baca Juga:
Bupati Samosir Serahkan 9 Unit Ambulance di Perayaan Paskah Oikumene
Berkomunikasi setelah memberi hukuman artinya suatu dialog yang hangat antara orangtua dan anak (guru dengan murid), dimana orangtua (guru) menjelaskan bahwa tindakan memberikan hukuman tersebut dimaksudkan oleh karena orangtua (guru)mengasihi anak(murid). Orangtua (Guru) perlu mengkomunikasikan kasih sayang dalam bentuk sikap dan perbuatan setelah anak menerima hukuman. Komunikasi setelah memberikan hukuman, juga untuk memastikan apakah anak melakukan hal itu, dengan sengaja atau ketika komunikasi dari pembicaraan dengan anak, kita akan tahu bahwa itu terjadi karena anak belum memahami aturan, norma tersebut.
Komunikasi setelah member hukuman memang suatu alat yang efektif untuk menyembuhkan luka hati anak. Jadi dalam hal ini, komunikasi yang dilakukan orangtua(guru) sifatnya lebih daripada sekedar tindakan pencegahan atau prefentif agar anak-anak tidak memiliki kepahitan atau tawar hati terhadap orangtuanya(gurunya) tetapi juga merupakan suatu tindakan penyembuhan atau refrensif dengan membesarkan hati anak. Menciptakan komunikasi efektif antara orang tua dan anak (guru dan murid) juga dapat menggunakan teknik-teknik diatas.
Penutup
Baca Juga:
Hari Otonomi Daerah Ke-28 Turut Diperingati Pemkab Samosir
Komunikasi yang dilakukan orangtua (guru) sifatnya lebih dari pada sekedar tindakan pencegahan atau prefentif agar anak(murid) tidak memiliki kepahitan atau tawar hati terhadap orangtuanya(guru) tetapi juga merupakan suatu tindakan penyembuhan atau refrensif dengan membesarkan hati anak(murid). Pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh para pendidik(orang tua dan guru) yang didukung oleh kecerdasan intelektual, emosional dan spiritualnya dapat menjadi cahaya yang menerangi anak-anak ketika berada di rumah dan seluruh ruang kelas. Dan, akan memvibrasi kepada seluruh siswa sehingga ruang kelas itu secara perlahan-lahan akan terkena radiasi berupa ledakan kegairahan belajar menyala-nyala, partisipatif dan menyenangkan. Pada saat seperti itu, mengajar bukan lagi sebuah pekerjaan yang membebani, melainkan telah berubah menjadi sebuah “karya Seni yang melahirkan kepuasan bathin.
Hubungan komunikasi harmonis antara orang tua dan anak (guru dan murid) harus diupayakan semaksimal mungkin di sela-sela kesibukan pekerjaaan antara lain dengan memanfaatkan waktu-waktu rekreasi, saat makan bersama, setelah selesai beribadah atau berdoa bersama, dan saat-saat menjelang tidur.
(cat, Amir Faisal dan Zulfanah, Menyiapkan Anak Jadi Juara, Bunda Hana, Tidak Cukup Hanya Dengan Cinta, Jarot Wijanarko, Berani Mendisiplin Anak,Mary Go Setiawani,Menerobos Dunia Anak). [rum]