Oleh : Ayub Tampubolon, MTh, staf kementerian agama kabupaten Samosir, Ketua Asosiasi Pendeta Indonesia (API), Ketua I PGI-DWadw Kab.Samosir
WahanaNews-Sumut | Pasangan suami-isteri yang sudah memutuskan untuk menikah tentu saja tidak pernah membayangkan kehidupan rumah tangganya akan mengalami perpisahan atau perceraian. Walaupun Perceraian adalah hal biasa di dunia kita sekarang ini. Tidak menyangkal bahwa dalam sejumlah kasus, perceraian dibutuhkan untuk mengakhiri penyiksaan dan tindakan yang tidak manusiawi.
Baca Juga:
Perang Melawan Narkoba: Polda Sumut Ungkap 32 Kasus dan Sita 201 Kg Sabu, 272 Kg Ganja serta 40.000 butir Ekstasi
Perceraian jauh melebihi sekedar kenyataan psikologis atau sosiologis. Ia merupakan sesuatu yang lebih mendalam ketimbang kekayaan, kemantapan kejiwaan, atau komunitas sosial. Perceraian dalam keluarga merupakan ancaman bagi kehidupan seorang anak, bagi kepribadiannya, jatidirinya Perceraian merupakan persoalan kehidupan, yakni yang berdampak pada keberadaan kita didunia ini.
Permasalahan
Perceraian berlawanan dengan tujuan penciptaan Allah pada manusia. Keinginan seorang isteri atau seorang suami untuk bercerai adalah akibat dari kegagalan hubungan diantara mereka dalam aspek yang sangat di dasari bukan sebaliknya. Biasanya keinginan bercerai tercetus bukan dalam suasana tenang, melainkan dalam suasana marah dan benci. Salah satu Faktor lain yang membuat kita menggampangkan perceraian adalah kepribadian.
Baca Juga:
Lengkap Penderitaan ! Jalan Rusak Sampah Menumpuk Tepat dibelakang Telkom Kota Perdagangan
Sebab mungkin kita dibesarkan dalam keluarga yang kohesi atau ikatan antar-anggotanya longgar. Kita kurang terlatih untuk berkomitmen,yaitu mengikatkan diri pada seseorang atau sesuatu.Atau,karena faktor latarbelakang sosial, ekonomi, pendidik, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, budaya, atau pernikahan usia dini.
Kalau kita ingat bukankah dulu ketika pacaran kita membuat komitmen cinta, yaitu komitmen untuk saling memaafkan, sabar, murah hati, jujur, setia dan lainnya. Memaafkan, sabar, dan murah hati, setia, jujur itu bukan diperlukan dulu saat kasmaran, melainkan sampai akhir hidup bahkan justru sekarang saat kita marah dan benci. Dalam situasi marah dan benci ini yang diperlukan adalah iktikad mempraktekkan komitmen, bukan melarikan diri dari komitmen lalu bercerai, karena bukan itu jalan yang terbaik. Komitmen yang sudah diadakan Allah janganlah ditiadakan manusia.
Jika Anda ingin menikah, lakukanlah dengan penuh doa, hikmat dan pertimbangan yang matang, jangan tergesah-gesah dan nafsu duniawi. Dibutuhkan komitmen yang setia untuk cinta dan pengampunan daripada luka dan kemarahan, kebencian, kekerasan, dendam. Jika kita menyerah di jalan berbatu pertama, kita kehilangan berkat pertama dan bisa kehilangan berkat selanjutnya bila kita tidak bisa mempertahankannya dan mengembalikan ke tempat semulanya dengan baik. Jadikan Allah pusat hubungan Anda dan bersandar pada-Nya. Jika Anda menemukan diri kita bercerai, larilah ke Allah kita yang Penuh Kasih Sayang, curahkan beban pikiran dan bathinmu kepadaNya.