Oleh: Drs. Thomson Hutasoit
Salah satu fenomena beragama yang muncul akhir-akhir ini ialah munculnya fanatisme buta terhadap agama dengan monopoli tafsir kebenaran serta merasa agamanya paling benar sehingga menjelek-jelekkan, menghina dan merendahkan agama lain atas nama perbedaan satu sama lain.
Baca Juga:
Mama Dada Mu Ini Dada Ku
Perbedaan pilihan terhadap agama tertentu adalah hak asasi manusia (HAM) paling dasar yang tidak boleh dikurangi atas alasan apapun yang dikenal dengan hak asasi "Kemerdekaan diri".
Menurut ajaran John Locke, Montesquieu, Rousseau telah ditetapkan hak asasi, seperti; kemerdekaan diri; kemerdekaan agama; kemerdekaan berkumpul dan berserikat; hak writ of Habeas Corpus; kemerdekaan pikiran dan pers; dan lain-lainnya (Prof. MR. H. Muhammad Yamin, 1951).
Selanjutnya pada UUD RI 1945 Hak Asasi Manusia diatur pada pasal 28, 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, 28J, dan pasal 29 ayat (2) berbunyi, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu".
Baca Juga:
Perseteruan Kandidat Penghuni Sorga
Penghormatan hak asasi manusia (HAM) sesungguhnya adalah wujud pengakuan, penghormatan terhadap karya cipta Ilahi beraneka ragam perbedaan, keragaman, kemajemukan di alam semesta.
Tuhan Yang Maha Esa (Ilahi-red) menciptakan alam semesta beraneka ragam; siang dan malam; terang dan gelap; panas dan dingin; laki-laki dan perempuan, hitam dan putih, kurus dan gemuk, cantik dan jelek, dll.
Aneka keragaman (hetrogenitas) alam semesta sadar atau tidak jaminan keberlangsungan, kebersinambungan regenerasi sepanjang alam semesta masih ada.