SUMUT.WAHANANEWS.CO,-
Polemik mengemuka di Sibolga, Tapanuli Tengah (Tapteng), menyusul dugaan praktik "tangkap lepas" yang dilakukan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Sibolga terhadap tiga kapal pukat trawl pada 9 Desember 2024.
Ketiga kapal tersebut diduga melanggar zona penangkapan ikan yang telah ditetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Ketidakjelasan alasan pembebasan kapal ini memicu kecurigaan dan kemarahan nelayan setempat.
Baca Juga:
Dea Mampu Hasilkan Rp 15 sampai 20 Juta Tiap bulan dari Situs Onlyfans
"Ada apa gerangan? Mengapa PSDKP Sibolga melepaskan kapal pukat trawl yang jelas-jelas melanggar aturan?" tanya Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Tapteng, Selasa (21/1/2025).
Ia mengungkapkan, kejadian serupa pernah terjadi tahun lalu, melibatkan KM. Swarna. Peristiwa ini, menurutnya, menimbulkan dugaan kuat adanya praktik "main mata" antara pengusaha kapal dan oknum PSDKP.
"Kalau sudah tertangkap, kenapa tidak diproses? Saya curiga ada kerjasama," tegasnya dengan nada geram.
Baca Juga:
Musisi Pembuka di Konser Justin Bieber Dipastikan akan Ada
Pria bertubuh tegap ini mewakili keresahan nelayan tradisional yang merasa dirugikan oleh praktik penangkapan ikan ilegal yang dilakukan kapal pukat trawl. Ia mempertanyakan komitmen PSDKP dalam melindungi nelayan kecil dan keberlanjutan sumber daya perikanan di perairan pantai barat Sumatera.
"Jika bukan kita, siapa lagi yang akan memperjuangkan nasib nelayan tradisional?" serunya.
Kantor PSDKP Sibolga [WAHANANEWS.CO/JOBBINSON PURBA]
Konfirmasi kepada Koordinator kantor PSDKP Sibolga, Ajoan, membenarkan penangkapan ketiga kapal tersebut karena menggunakan jaring JHID dan melanggar zona operasi.
"Mereka menangkap ikan di jalur 2, padahal seharusnya di jalur 3," jelasnya di kantor PSDKP Sibolga, Rabu (22/1/2025).
Namun, saat ditanya mengenai pembebasan kapal, Ajoan justru balik bertanya kepada wartawan dan menjawab dengan tertawa kecil. Lebih mengejutkan lagi, ia mengaku tidak mengetahui detail data kapal yang ditangkap, termasuk nama kapal dan kelengkapan surat administrasinya. Ia beralasan timnya langsung melaporkan kasus ini ke UPT Lampulo dan proses pengecekan masih berlangsung.
Terkait isu "tangkap lepas", Ajoan menyatakan hal tersebut merupakan bagian dari upaya "restorative justice".
"Sekarang zamannya sanksi administratif, restorative justice," ujarnya singkat.
Pernyataan Ajoan ini semakin memperkuat kecurigaan publik. Apakah "restorative justice" menjadi tameng bagi praktik yang merugikan nelayan tradisional? Atau justru ada indikasi kolusi yang lebih besar yang perlu diusut tuntas? Pertanyaan ini masih menggantung dan menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pihak PSDKP Sibolga.
[REDAKTUR : HADI KURNIAWAN]