WahanaNews.co I Masyarakat Adat Desa Pandumaan-Sipituhuta
Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, meminta agar Presiden Jokowi meninjau
ulang SK Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta
yang dikeluarkan dari lahan Konsesi PT Toba Pulp Lestari.
Baca Juga:
Kasus Dugaan Korupsi, Kejagung Benarkan Geledah KLHK
Hal itu dikatakan Arnold Lumbanbatu mewakili Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta
pada pertemuan komunitas masyarakat adat di Tano Batak dengan Menteri LHK, Siti Nurbaya, di
Hotel KHAS Parapat, Minggu (13/06/2021).
Baca Juga:
34 Sekolah Binaan DLH Kota Tangerang Raih Penghargaan Adiwiyata Nasional dan Mandiri
Arnold Lumbanbatu, menjelaskan bahwa pada 2016 yang lalu
perwakilan masyarakat telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan Menteri LHK
di istana negara.
"Dalam pertemuan tersebut Bapak Jokowi memberikan SK
Pencadangan Hutan adat kami dengan mengeluarkan dari konsesi PT TPL seluas 5172
hektar. Pak Jokowi juga berpesan agar kami tidak merubah fungsi Hutan Kemenyan,
dan itu kami lakukan sampai sekarang. Namun tahun 2020 yang lalu SK Hutan
Adat Pandumaan-Sipituhuta terbit hanya seluas 2393 hektar. Hal ini
menyebabkan masalah baru bagi masyarakat, karena tuntutan kami tidak sesuai
dengan hasil yang kami terima," jelas Arnold.
Dia berharap, SK Hutan Adat yang mereka terima ditinjau
ulang sesuai dengan permintaan masyarakat, karena yang tidak masuk dalam SK
Hutan Adat tersebut sampai saat ini masih hutan kemenyan yang mereka
lestarikan.
Banyak Pohon Kemenyan Ditebang
Sementara itu, Eva Junita Lumban Gaol, mewakili masyarakat
adat Pargamanan-Bintang Maria Desa Simataniari Kec. Parlilitan Kab. Humbang
Hasundutan, juga menyampaikan keberadaan PT TPL di wilayah adat mereka yang
telah menimbulkan konflik horizontal sesama masyarakat.
"PT TPL membuat rusak hubungan keluarga, abang-adik tidak
saling sapa akibat pecah belah yang dilakukan PT TPL. Bukan hanya itu,
keberadaan konsesi di hutan kemenyan kami juga berdampak pada menurunnya sumber
ekonomi masyarakat karena telah banyak pohon kemenyan kami ditebang oleh
perusahaan, tanaman-tanaman kami banyak dirusak oleh binatang yang
kehilangan tempat di hutan yang dirusak," tuturnya.
Eva juga menambahkan, belum selesai konflik kami dengan PT
TPL, baru baru ini wilayah adat mereka telah ditunjuk sebagai area pengembangan
Food Estate. Hal ini membuat kekawatiran bagi masyarakat, karena lokasi yang
ditunjuk tersebut adalah Hutan Kemenyan dan Hutan alam.
"Kami tidak bisa bayangkan jika hutan kami rusak maka
kehidupan kami tentu akan terancam, padahal saat ini hutan di
Pargamanan-Bintang Maria adalah benteng terakhir hutan alam di Tapanuli," kata
Eva. (tum)