Oleh: Drs. Thomson Hutasoit.
Saribu Panghail Sahalak Pandangguri, Dang Adong Dapotan
Dekke dalam bahasa Indonesia artinya seribu orang pemancing, satu orang
melempari, tidak ada yang dapat ikan.
Baca Juga:
Arnod Sihite Dilantik Ketua Umum PTSBS Periode 2024-2029: Ini Daftar Lengkap Pengurusnya
Salah satu faktor utama dan pertama agenda setting atau
kebijakan publik (UU, PERPPU, KEPRES, PERPRES, PERDA, dll) adalah bias
informasi dan plintiran serta penggiringan opini sesat melalui hoax atau
kebohongan, fitnah, hasut, hujat, provokasi, agitasi, nyinyir, culas, cemeti,
cemooh, pemutarbalikan data, fakta, bukti empirik tervalidasi,
penjungkirbalikan logika, penyesatan nalar, ujaran kebencian yang pada
ujung-ujungnya menimbulkan ketidakpercayaan (distrust), kecurigaan, prasangka
buruk terhadap agenda setting atau kebijakan publik (KP) tersebut.
Baca Juga:
Arnod Sihite Resmi Pimpin Parsadaan Toga Sihite Boru Sedunia, Fokus Lestarikan Budaya Batak pada Generasi Muda
Sebagaimana diingatkan Sigmund Freud, "Manusia bukan
saja pandai membikin rasional namun juga cerdas membikin rasionalisasi. Pikiran
manusia bukan saja dapat dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan
kebenaran namun sekaligus juga dapat dipergunakan untuk menemukan dan
mempertahankan hal-hal yang tidak benar. Seorang manusia biasa berdalih untuk
menutup-nutupi kesalahannya baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang
lain.
Dalih yang berbahaya adalah rasionalisasi yang disusun
secara sistematis dan meyakinian. Dalih semacam ini bisa memukau apalagi bila
didukung oleh sarana seperti kekuasaan".
Karena itulah "Ahli-ahli ilmu sosial cenderung untuk
selalu membikin defenisi baru mengenai suatu obyek penelaahan ilmu-ilmu sosial,
sebab mereka menganggap defenisi yang dibikin oleh orang lain sebagai
"sikat gigi bekas" (Max Weber).
Leluhur Batak Toba telah memberi warning tentang
sebab-musabab kegagalan sesuatu agenda setting atau kebijakan publik (KP)
dengan ungkapan kearifan budaya (culture wisdom), kearifan lokal (local
wisdom), "Saribu Panghail Sahalak Pandangguri Dang Adong Dapotan
Dekke" dalam terjemahan bebas "Seribu orang pemancing, satu orang
melempari, tak ada yang dapat ikan" bermakna sebanyak-banyaknya memberi
sosialisasi, pencerahan, pencerdasan atas sesuatu kebijakan bila ada
memplintir, memprovokasi, dan menyesatkan dengan berbagai pembodohan, hoax atau
kebohongan, fitnah, hasut, hujat, nyinyir, culas, cemooh, cemeti, ujaran
kebencian dengan dalil-dalil subyektivitas tendensius bermasker hipokrit,
munafik, paranoid, halusinasi, serta manuver-manuver politik, jebakan batman
berbungkus kepentingan terselubung pasti akan menimbulkan karut-marut,
kekacauan, kegaduhan, keonaran serta gagal total (gatot).
Suatu agenda setting atau kebijakan publik (KP) sebaik dan
sehebat apapun tanpa dukungan seluruh stakeholders yang terkait pasti tidak
akan berhasil maksimal sesuai dengan yang dirumuskan semula.
Bila dikaitkan dengan situasi kondisi aktual sedang dihadapi
bangsa Indonesia saat menghadapi bencana wabah pandemi corona desease 2019 atau
covid-19 sangat mudah ditemukan implementasi kearifan budaya, kearifan lokal
warisan leluhur Batak Toba "Saribu Panghail Sahalak Pandangguri Dang Adong
Dapotan Dekke" dengan maraknya pembohongan, pembodohan, penyesatan
terstruktur sistemais masif (TSM) untuk menggagalkan kebijakan pemerintah
menyelamatkan Indonesia dari dimensi keselamatan jiwa manusia, dimensi ekonomi,
dimensi sosial politik dengan berbagai opini penyesatan publik.
Semua kebijakan yang diambil Pemerintahan Presiden Joko
Widodo (Jokowi) melalui kajian, analisis berdasarkan data, fakta, bukti empirik
tervalidasi, mempertimbangkan karakteristik bangsa, serta melibatkan para pakar
dan ahli kredibel, profesional, mumpuni di bidangnya, bagi segelintir orang
dan/atau pihak terutama lawan politik (oposisi-red) tidak ada yang benar, tidak
ada yang tepat dan akurat.
Dan paling menyebalkan dan menjengkelkan para lawan politik
atau oposisi telah memplintir, membelokkan, menyesatkan publik dengan analisis
rasionalisasi membajak "kebenaran menjadi pembenaran" menimbulkan
kebingungan, kecemasan, kegelisahan, ketakutan, kepanikan yang ujung-ujungnya
ketidakpercayaan (distrust) terhadap kebijakan dan/atau pemerintah.
Berita-berita bombastis, hyperbola, tendensius, klikbait,
dll tanpa akurasi data, fakra, bukti emprik tervalidasi serta check and recheck
dipublikasi terstruktur sistematis masif (TSM) di media, baik media maenstream
(media cetak, media elektronik, media online), media sosial (fb, wa, instagram,
tweeter, video, vlog, live streaming, dll) yang akurasi dan kebenarannya masih
diragukan dan dipertanyakan.
Publikasi sampah dan tak bertanggungjawab yang penyebarannya
lebih cepat dari wabah pandemi covid-19 salah satu faktor utama dan pertama
menimbulkan kebingungan, ketidakpastian, kecemasan, kegelisahan, ketakukan,
kepanikan, serta ketidakpercayaan publik di republik ini.
Karena itu, sudah saatnya pemerintahan Presiden Jokowi bertindak
tegas, keras dan terukur kepada penebar hoax atau kebohongan, fitnah, hasut,
hujat, nyinyir, culas, cemooh, cemeti, provokasi, agitasi, ujaran kebencian,
dll tanpa pandang bulu karena sebaik dan sehebat apapun kebijakan tak akan
berhasil bila mereka masih bebas bergentayangan menebar virus kejam, keji dan
biadab di ruang publik sebagaimana kearifan budaya, kearifan lokal Batak Toba
"SARIBU PANGHAIL SAHALAK PANDANGGURI DANG ADONG DAPOTAN DEKKE." Bravo Indonesia.....!!! Salam introspeksi
diri....!!! Kembalikan karakter jati diri bangsa....!!! Horas.....!!! Salam
NKRI....!!! Medan, 20 Juni 2021. (tum)
Penulis adalah: Pengamat budaya batak dan penulis buku