Ditulis Oleh : Presiden Ikatan Pemuda Mandailing Bung Tan Gozali Nasution.
Baca Juga:
Ikatan Akademi Paradigta Indonesia, 23 Kader Pekka Angkatan 1 di Meranti Diwisuda
WahanaNews-Sumut | Mengenang sekilas Willem Iskandar seorang pelopor guru nasional dari Mandailing yang terlupakan di hari guru 25 november 2022, dunia pendidikan merupakan hal terbaik yang dihasilkan kebijakan Politik Etis Hindia Belanda.
Salah satu hasil penting penerapan Politik Etis dalam masyarakat Hindia Belanda sejak akhir abad 19 adalah telah menimbulkan semacam “pertukaran mental” antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung Politik Etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.
Sebagaimana sejumlah daerah lain di Hindia-Belanda, wilayah afdeeling Mandailing-Angkola juga terimbas semangat politik etis tersebut. Di masa itu berbagai fasilitas pendidikan yang menjadi ujung tombak Politik Etis telah berkembang pesat di sejumlah kota kecil di sana, seperti Padang Sidempuan, Penyabungan, dan Sipirok.
Baca Juga:
2000 Peserta Ramaikan Pawai Ta'aruf MTQN Ke 55 dan Festival Nasyid Tingkat Kecamatan Meranti
Di salah satu pelosok Tapanuli, Natal, Eduard Douwes Dekker yang kemudian dikenal sebagai Multatuli - mengawali karirnya sebagai ambtenaar Hindia-Belanda. Awal tahun 1842, Eduard, yang masih berusia 22 tahun, ditugaskan sebagai kontrolir di Natal - sebuah kota kecil di Pantai Barat Sumatra yang terpencil.
Menurut catatan William Frederik Hermans dalam bukunya, menjadi pejabat pemerintah di usia sangat muda (waktu itu orang baru dianggap dewasa kalau sudah mencapai usia 23 tahun), membawa hal-hal yang tidak pernah dipelajarinya di negeri Belanda. Eduard tak sampai tiga tahun bertugas di Natal. Karena kecerobohan admistratif yang dilakukannya, ia kemudian dipindah tugaskan ke Batavia. Kelak beberapa tahun kemudian, ia bertugas di Lebak, lantas menuliskan kisahnya dalam novelnya yang sangat terkenal di seluruh dunia Max Havelaar.
Kembali ke wilayah Tapanuli, keadaan politik yang relatif stabil di bawah pemerintahan kolonial, menyebabkan kemajuan ekonomi dan peningkatan prasarana dan sarana di daerah tersebut. Harga-harga kebutuhan pokok turun drastis, terutama setelah dibuka jalan raya yang menghubungkan wilayah Tapanuli dengan Deli, hingga Sibolga dan Padang. Sarana lalu lintas yang baru sangat memudahkan perdagangan sehingga barang-barang yang belum pernah dikenal menjadi tersedia. Lapangan kerja semakin luas dengan berbagai macam pekerjaan yang sebelumnya tidak dikenal. Sistem pendidikan modern menjadi sarana mobilisasi sosial yang membuka peluang kepada golongan masyarakat bawah, dan kesehatan modern mendorong kesejahteraan rakyat. (Kozok 2010, 78)