Sejak pertengahan abad ke 19 afdeeling Mandailing-Angkola juga berubah secara ekonomi dan budaya. Wilayah yang pernah luluh-lantak akibat serangan Kaum Paderi itu berkembang pesat. Jalan-jalan dibangun untuk membuka daerah itu bagi perdagangan. Para pegawai pemerintah kolonial berusaha membersihkan kampung-kampung dan menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak higenis dan dinilai biadab. Tenaga medis yang menangani kesehatan, antara lain dua orang lulusan sekolah kedokteran untuk kaum pribumi di Batavia, School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), yang pulang ke kampung halaman, pada tahun 1857. Kedua tokoh itu adalah Si Asta dan Si Angan.
Di masa itu pula, Willem Iskander atau Satie Nasution, yang baru pulang dari Belanda, membuka sekolah guru di Tanobato pada 1862. Kepeloporan Willem Iskandar dalam pendidikan pribumi diakui.
Baca Juga:
Ikatan Akademi Paradigta Indonesia, 23 Kader Pekka Angkatan 1 di Meranti Diwisuda
Ia pula yang memulai tradisi menulis buku modern dengan menggunakan kertas dan aksara Latin. Willem Iskander menulis buku ketika masih studi di Negeri Belanda. Buku yang dihasilkan Willem Iskander, antara lain, berjudul ‘Boekoe Parsipodaon di Dakdanak di Sikola’,diterbitkan pertama kali 1862. Buku ini merupakan buku pelajaran sekolah yang pertama ditulis oleh pribumi. Buku lainnya dari Willem Iskander yang diterbitkan adalah: Hendrik Nadenggan Roha, yang merupakan terjemahan dari De Brave Hendrik (karangan Nicolaas Anslijn), diterbitkan di Padang oleh penerbit Van Zadelhoff, 1865; Barita na Marragam, merupakan saduran dari buku karangan J.R.P.F. Gongrijp, Batavia 1868; Baku Basaon, terjemahan buku karangan W.C. Thurn. Batavia, 1871.
Buku hasil karya Willem Iskander yang sangat terkenal berjudul ‘Si-Boeloes-boeloes, Si-Roemboek-roemboek: Boekoe Basaon’, diterbitkan pertama kali di Batavia oleh Landsdrukkerij (Percetakan Negara) tahun 1872. Buku ini merupakan kumpulan prosa dan puisi Willem Iskander sendiri. Pada tahun 1903 dan 1906 dan 1915 buku ini dicetak ulang. Buku ini diterbitkan kembali tahun 1976, diterjemahkan oleh Basyral Hamidy Harahap ke dalam bahasa Indonesia.
Karena Sekolah Tanobato kualitasnya bagus, dua tahun kemudian diambil-alih pemerintah kolonial dan dijadikan sebagai sekolah guru negeri atau Kweekschool. Sekolah guru ini merupakan yang ketiga didirikan di Hindia-Belanda, setelah di Soerakarta dan Fort de Kock (Bukit Tinggi).
Baca Juga:
2000 Peserta Ramaikan Pawai Ta'aruf MTQN Ke 55 dan Festival Nasyid Tingkat Kecamatan Meranti
Setelah berjalan beberapa lama dan dinilai cukup berkualitas, Kweekschool Tanobato direncanakan untuk ditingkatkan kapasitasnya dan dipindahkan ke Padang Sidempuan. Willem Iskander sendiri kemudian dikirim pemerintah untuk studi ke Negeri Belanda untuk mendapatkan akte kepala sekolah. Kweekschool Tanobato kemudian ditutup, dan Willem Iskander berangkat ke Belanda lagi di tahun 1875. Tapi, setahun kemudian, Willem Iskander meninggal dunia di Belanda.
Diaspora Alumni Kweekschool Padang Sidempuan
Pada 1871, Padang Sidempuan telah ditetapkan sebagai ibukota Afdeeling Mandailing Angkola, menggantikan Panjaboengan. Pertumbuhan Padang Sidempuan di paruh kedua abad ke- 19 itu terbilang pesat. Hal ini terlihat dari berbagai fasilitas umum yang diperuntukkan terutama untuk orang-orang Eropa dan pegawai (ambtenaar) pemerintah kolonial dan kaum bangsawan setempat. Memang, di masa itu komunitas orang-orang Eropa di Padang Sidempuan dari waktu ke waktu makin bertambah. Orang-orang Belanda yang tinggal di Padang Sidempuan selain pejabat pemerintah dan kalangan guru, juga ada wisatawan, peneliti, serta investor perkebunan kopi. Juga polisi dan pasukan militer.