Pada 1880, di Padang Sidempuan sudah tersedia berbagai fasilitas umum dan pendidikan yang cukup memadai, seperti: garnisun/markas militer, kantor dan rumah dinas Residen dan para pejabat pemerintah kolonial lainnya, kantor pos dan telegraf, pasar, rumah sakit, pengadilan dan penjara, pesanggrahan, beberapa sekolah dasar, dan sebuah sekolah guru.
Pada 1873, Departement van Onderwijs di Batavia merencanakan pendirian sekolah dasar pemerintah atau Inlandsche School, jumlahnya sebanyak 10 sekolah di seluruh Keresidenan Tapanoeli.
Baca Juga:
Ikatan Akademi Paradigta Indonesia, 23 Kader Pekka Angkatan 1 di Meranti Diwisuda
Dari sepuluh sekolah dasar pemerintah yang dibangun di Keresidenan Tapanoeli masa itu, delapan di antaranya berada di Afdeeling Mandailing-Angkola. Dan salah satu sekolah dasar pemerintah yang terbaik berada di Padang Sidempuan. Sekolah yang kemudian dikenal dengan nama ‘Sikola Topi Saba’ ini menjadi tempat tujuan baru untuk bersekolah bagi anak-anak dari pemukiman di pusat kota dan anak-anak yang berasal dari kawasan ‘parsabaan'(persawahan, pinggiran atau pedalaman) seperti Batang Ajoemi, Tanobato, Sigiring-giring, Sihadabuan, Panyanggar, dan Sidangkal.
Sesuai rencana pemerintah kolonial Belanda, tahun 1879 dibuka Kweekschool Padang Sidempuan, dengan kepala sekolah Mr. Harnsen. Pada tahun 1883 posisi Harnsen digantikan oleh salah seorang guru Kweekschool Padang Sidempuan bernama Charles Adriaan van Ophuijsen. Putra mantan Kontrolir Natal ini berdinas sebagai guru di Padang Sidempuan selama delapan tahun, dan lima tahun terakhir sebagai direktur sekolah tersebut. Saat dipimpin Van Ophuijsen, Kweekschool Padang Sidempuan pernah dinobatkan sebagai sekolah guru terbaik di Hindia-Belanda.
Van Ophuijsen, yang belajar bahasa Melayu dan Mandheling, kelak menjadi penyusun tata bahasa Melayu dan ejaan Ophuijsen serta menjadi guru besar tata-bahasa dan sastra Melayu di Universitas Leiden.
Baca Juga:
2000 Peserta Ramaikan Pawai Ta'aruf MTQN Ke 55 dan Festival Nasyid Tingkat Kecamatan Meranti
Sejumlah lulusan Kweekschool Padang Sidempuan berperan penting dalam mendorong semangat kebangsaan di Tapanuli, bahkan di kalangan bangsa Indonesia. Dua tokoh yang pantas disebut adalah Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan Soripada.
Dja Endar Moeda dikenal luas sebagai “Raja Surat Kabar Sumatra” di masa itu. Tokoh ini dikenal sebagai orang pribumi pertama yang memiliki percetakan di Sumatra. Dja Endar Moeda juga merupakan jurnalis andal, yang menjadi pemimpin redaksi, bahkan pendiri dan pemilik sejumlah surat kabar yang terbit di Padang, Sibolga, Medan, sampai Aceh. Surat-kabar terkenal di masa itu yang dipimpinnya, antara lain: Tapian Na Oeli (terbit di Sibolga), Pertja Barat(terbit di Padang), Pewarta Deli (terbit di Medan), dan Pemberita Aceh. Gagasan utama Dja Endar Moeda adalah meningkatkan peran kaum terpelajar dalam memajukan bangsa Indonesia melalui sekolah dan pers.
Adapun Soetan Casajangan Soripada (1874-1927), kelahiran Padang Sidempuan, berangkat ke Belanda tahun 1904, setelah menyelesaikan pendidikannya di Kweekschool Padang Sidempuan. Di negeri Belanda, ia melanjutkan pendidikan di sekolah guru di Haarlem selama satu tahun sembilan bulan. Kemudian Soetan Casajangan menjadi asisten Prof. Charles Adriaan van Ophuijsen, di Rijksuniversiteit Leiden untuk mata kuliah Bahasa Melayu, Sejarah Indonesia, Islam, Daerah dan Penduduk Indonesia. Pada Juni 1908, Soetan Casajangan menggagas pembentukan Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia, dan ia terpilih sebagai ketua pertama organisasi tersebut sebangai tokoh pionir pendidikan nasional.