“Ini bukan sekadar proyek fisik, ini soal keadilan wilayah. Masa iya satu-satunya jalan vital dibiarkan tetap sempit dan rentan longsor setiap tahun tanpa evaluasi menyeluruh? Itu cerminan buruknya perencanaan,” tegasnya.
Tohom, yang juga Ketua Aglomerasi Watch, menekankan pentingnya pendekatan kawasan dalam pembangunan infrastruktur. Menurutnya, jalan nasional Sidikalang–Medan yang melewati Tanah Karo–Dairi–Pakpak Bharat seharusnya masuk dalam skema aglomerasi prioritas berbasis ketahanan bencana.
Baca Juga:
Tiga Anjing Pelacak Dikerahkan Bantu Temukan Korban Longsor di Tambang Gunung Kuda
“Aglomerasi wilayah harus dibangun dengan fondasi infrastruktur kuat dan tangguh bencana. Kalau jalannya masih seperti tali sepatu di lereng curam, bagaimana bisa bicara konektivitas Sumatera Utara bagian barat?” ujar Tohom.
Ia juga mendesak Kementerian PUPR, Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN), serta Komisi V DPR RI untuk segera melakukan peninjauan lapangan dan mengalokasikan anggaran khusus pada APBN 2025.
Menurutnya, pelebaran jalan di kawasan ini bukan hanya urusan daerah, tapi juga tanggung jawab nasional dalam menjamin aksesibilitas yang merata.
Baca Juga:
Longsor Tambang Gunung Kuda Cirebon Telan 20 Korban Jiwa
“Kami ingin kepala daerah dan DPR bergerak bersama sebagai satu suara. Jangan tunggu korban jatuh, baru panik kirim alat berat. Perencanaan infrastruktur harus meninggalkan pola darurat menuju kebijakan berkelanjutan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Camat Silahisabungan, Iwan Simarmata, membenarkan kejadian longsor di Lae Pondom yang membuat jalur tidak bisa lagi dilalui kendaraan besar.
Pengendara diminta memanfaatkan jalur alternatif Merek–Tongging–Silalahi–Sumbul, namun jalur tersebut dipastikan padat karena menjadi rute bersama Medan, Aceh Singkil, dan Subulussalam.