WahanaNews.Co I
PT. Dairi Prima Mineral (PT. DPM), adalah perusahaan modal
asing (PMA), perusahaan tambang di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, tepatnya
berada di Sopokomil, Kecamatan Silima Pungga-pungga. PT. DPM sudah 20 tahun
lebih melakukan eksplorasi, sejak tahun 1998, namun sampai saat ini belum
berproduksi. Keberadaan Perusahaan tambang tersebut masih memiliki polemik yang
belum tuntas dengan masyarakat setempat lokasi pertambangan.
Baca Juga:
HUT DWP ke-25, Pj Bupati Dairi: Peningkatan Kapasitas Menuju Indonesia Emas 2045
Ungkap Marpaung, salah seorang tokoh masyarakat Dairi kepada
WahanaNews.co, Sabtu (5/12) di Hotel Rivoli, Jakarta, menyampaikan
beberapa polemik yang saat ini terjadi adalah tidak transparannya PT. DPM
kepada masyarakat sekitar.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Diminta Tegas Dalam Penertiban Pasar Sumbul
Ungkap menjelaskan, kontrak karya pertambangan PT. DPM tersebut
sesuai dengan Kepres 1998, adalah perusahaan PMA dengan sistem membangun
terowongan sepanjang 40 Ha, meminjam pakai lahan areal kehutanan milik
pemerintah, luas dimana areal lahan yang akan dieksploitasi adalah 27.000 Ha. Hasil
tambang yang akan dieksploitasi adalah emas, mineral dan pengikutnya.
Kontrak Karya (KK) adalah suatu perjanjian antara Pemerintah
Republik Indonesia dengan perusahaan swasta asing atau patungan antara asing
dengan nasional (dalam rangka PMA) untuk pengusahaan mineral dengan berpedoman
kepada Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing serta
Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
Umum.
Sudah 20 tahun PT. DPM hanya melakukan eksplorasi, dalam
kurun waktu 20 tahun tersebut sudah beberapa kali juga terjadi penjualan saham
kepada berbagai pihak, tapi belum juga dilakukan eksploitasi tambang."Dahulu pemilik sahamnya deral, kemudian deral menjual lagi
sahamnya kepada group bakri, kemudian group bakri katanya telah menjual lagi
sahamnya kepihak lain. Kami bingung, masih eksplorasi saja pemilik sahamnya
sudah berganti-ganti diperjual belikan, apa cukup hanya eksplorasi saja lahan
ini, kapan eksploitasinya?" tanya Ungkap.
Saat ini pembangunan sarana prasarana, seperti akses jalan
sudah dibangun. Namun sebagian akses jalan sudah rusak dan berlobang lobang,
jalan tersebut antara huta rakyat sampai huta ginjang sepanjang 22 Km.
Sedangkan jalan itu merupakan akses jalan utama PT. DPM mengangkut bahan
material untuk kebutuhan pembangunan eksplorasi. Rusaknya jalan tersebut sangat
mengganggu aktiviitas penduduk yang memanfaatkan jalan.
"Mereka mengatakan kepada masyarakat sekitar bahwa jalan
tersebut akan diperbaiki. Dan yang melakukan
perbaikan adalah perusahaan pertambangan (Deral), tetapi sampai sekarang jalan tidak
kunjung diperbaiki," kata Ungkap.
Masyarakat sekitar sudah berkirim surat kepada PT. DPM di
Jakarta, kepada Bupati dan Instansi terkait, meminta supaya jalan antara huta rakyat sampai
huta ginjang sepanjang 22 Km segera diperbaiki.
"Saya sebagai masyarakat Dairi, meminta agar jalan tersebut
segera diperbaiki sampai. Apabila sampai tanggal 28 bulan ini jalan itu tidak
diperbaiki, saya akan perbaiki jalan itu dengan anggaran saya pribadi dan
swakelola dari masyarakat sekitar. Itu akan kita aspal sendiri, tetapi pihak PT.
DPM tidak boleh lewat, kita akan kordinasi dengan pihak terkait supaya menutup
akses jalan itu," tegas Ungkap.
Rusaknya jalan tersebut, diakibatkan mobil-mobil besar dan
panjang yang mengangkut dan mengantarkan bahan-bahan material untuk pekerjaan
proyek PT. DPM dilokasi pertambangan Sopokomil.
Selain persoalan-persoalan rusaknya utilitas utilitas jalan,
juga terdapat permasalahan dalam proses
pembebasan lahan masyarakat yang akan di eksploitasi.
Dijelaskan Ungkap, pembebasan dilakukan langsung oleh pihak
PT. DPM dengan masyarakat pemilik lahan. "Yang kami ketahui PT. DPM adalah
perusahaan PMA. Setahu saya PMA tidak boleh langsung membeli lahan warga,
harus dipihak ketigakan. Membeli mobil kendaraan operasionalnya saja mereka
tidak boleh, harus melalui pihak ketiga, apalagi membeli lahan," tegas Ungkap.
Dia menilai PT. DPM tidak transparan kepada masyarakat dan
selalu menjanji-janjikan kegiatan proyek untuk Kepala Desa dan tokoh-tokoh
masyarakat sekitar, tapi realisasinya tidak ada. Tujuannya adalah untuk meredam
keberatan masyarakat sekitar.
"Fakta-fakta dilapangan mobil-mobil perusahaan besar sudah
turun. Beberapa kendaraan sudah di stop seperti di semplong, karena membawa
barang yang panjangnya bukan main," katanya.
Ungkap setuju PT. DPM untuk beroperasi disana, sebagai
perusahaan pertambangan, sesuai dengan ijin yang diperoleh dari pemerintah.
Agar pendapatan asli daerah bertambah (PAD) dapat bertambah, demikian pula
pendapatan masyarakat sekitar tambang bisa mendapatkan hasil yang baik.
"Menjadi pertanyaaan, seandainya perusahaan pertambangan (PMA)
yang membeli dan memiliki tanah yang akan di eksploitasi tersebut, apabila kontraknya
sudah selesai, lahan itu akan diserahkan kepada siapa? kembali ke pemda atau
kepada pemiliknya kembali," tanya Ungkap.
Menurutnya, karena banyak informasi miring, penetapan harga-harga
tanah masyarakat yang akan dijadikan lahan pertambanganpun dipertanyakan. "Apa
yang menjadi tolak ukur pihak PT. DPM menentukan nilai harga tanah milik
masayarakat," tambahnya.
Hal tersebut diutarakan Ungkap, untuk dapat menjadi masukan
kepada seluruh masyarakat Dairi agar kirannya hak-hak masyarakat, hak-hak tanah
ulayat itu jelas. Dia mencontohkan
seperti Ibu Kota Jakarta sebagai pembanding. Di Jakarta pemilik tanah terdiri
dari berbagai suku, hak ulayat itu tidak ada, tetapi penghargaan hak terhadap
orang Betawi itu nyata. Ada yang namanya wilayah perkampungan Betawi.
Saaat ini disekitar pertambangan PT. DPM sudah terjadi pro
kontra. "Ada Pemegang Hak Ulayat (PHU), sementara PHU itukan sudah berdiri-sendiri
dalam hal ini birokrasi yang namanya pemerintahan ada kepala desa ada camat dan
lain lain. Ini perlu disosialisasaikan agar nanti kedepan tidak ada peraturan
diatas peraturan," terang Ungkap.
Tidak memiliki IMB Pembangunan Mess PT. DPM senilai
Rp. 148 M Dihentikan Pemkab Dairi
Ungkap juga mempertanyakan, kepatuhan PT. DPM terhadap peraturan
pemerintah Kab. Dairi. "Saat ini Mess PT. DPM yang dibangun di Dusun Huta Ginjang
Desa Polling Anak Anak Kec. Silimapungga-pungga senilai Rp. 148 Miliar
dihentikan oleh pihak Pemerintah Kab. Dairi, karena tidak memiliki Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB) dan pembangunan tersebut berdampak tidak baik kepada
warga sekitar, karena mengakibatkan banjir. Ini bagaimana? seharusnya PT. DPM
harus patuh dan tunduk kepada aturan, " tambah Ungkap.
Sebagaimana hal itu diakui Kepala Dinas Penanaman Modal
Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (DPMPPTSP) Kab. Dairi, Marisi Siantur
kepada Mistar.ID.
PT.
DPM belum mengantongi IMB pembangunan mess di Parongil. DPMPPTSP belum bisa menerbitkan IMB atas bangunan dimaksud,
karena berkas yang dimohonkan oleh pihak PT. DPM belum lengkap.
"Diantaranya
rekomendasi ijin lokasi dari Kantor Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan
Nasional (ATR/BPN) dan berkas pengalihan lahan pertanian menjadi lahan
permukiman," kata Marisi (1/12). (tum)