WahanaNews.co I Selain misi agama, kedatangan Nommensen ke
Tanah Batak membawa keyakinan prinsip, supremasi ras kulit putih.
Baca Juga:
Gereja HKBP Tolak Tawaran Konsensi Izin Tambang untuk Ormas
Sebanyak 60huta(kampung)
diduduki tentara Belanda yang dipimpin Kolonel Engel tatkala menyerbu Balige.
Baca Juga:
Wakil Bupati Samosir Letakkan Batu Pertama Pembangunan Rumah Dinas Gereja HKBP Pangururan Kota
Para rajahutayang menolak
tunduk, kampungnya dibakar dan didenda 1500-2000 gulden. Penaklukkan ini
terjadi pada Maret hingga Mei 1878 yang dikenal sebagai Perang Toba I (Batak
Oorlog).
Dalam ekspedisi tersebut, turut serta seorang
misionaris Kristen bernama Inger Ludwig Nommensen. Dia utusan SeminariRheinische
Missionsgesellschaft (RMG) di Wupertal-Barmen, Jerman. Selama perang
berlangsung, Nommensen mencatat dengan seksama apa yang terjadi.
"Di mana-mana terlihat kampung yang hangus dan
berasap. Penghuninya bersembunyi di jurang-jurang pegunungan dan langsung
melarikan diri apabila ada yang mendekat. Itulah saat yang paling menyedihkan
bagi kami yang datang sebagai utusan damai dan sekarang kami harus melihat
bagaimana penduduk diusir dari rumahnya," tulisnya dalam majalah mingguan
RMGBerichte der Rheinischen Missionsgesellchaft(BRMG)
tahun 1878 termuat dalamUtusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending
dalam Perang Tobakarya Uli Kozok.
Ketika para tentara Belanda untuk kali pertama
memasuki Danau Toba, banyak diantara mereka yang mengungkapkan perasaan
jengkel.
"Bahwa bangsa kafir yang jorok itu memiliki
bagian dunia yang begitu indah," sebagaimana dikutip Nommensen.
Sejak 1863, Nommensen telah menjalankan misi
kristenisasi di Tanah Batak. Berbasis di Pea Raja, Tarutung, dia mendirikan
sekolah misi bernamaBatakmission.
Pelayanan yang difokuskan dalam bidang
pendidikan dan kesehatan menarik banyak penduduk Batak untuk memeluk agama
Kristen. Hingga tahun 1870, sudah berdiri 10 sekolah zendingBatakmissiondi
lembah Silindung.
Batakmissionmemandang agama asli Batak, yang sesungguhnya tak jauh
berbeda dengan Hindu Bali, sebagai kepercayaan kafir yang perlu diberantas.
Nommensen melarang praktik kebudayaan lokal
seperti taritor-tordan musikgondangkarena
dicap identik dengan upacara keberhalaan.
Lama-kelamaan, meluasnya pengaruh Kristen
memancing reaksi penguasa Tanah Batak: Si Singamangaraja XII.
Hal ini berkaitan dengan gerakanBatakmissionke
kawasan Toba yang merupakan basis kekuasaan Si Singamangaraja.
Si Singamangaraja mulai melakukan kampanye
ketiaponan (pasar) di Silindung untuk memerangi orang kulit putih
yang disebut si "bottar mata"(si mata putih).
Muncul desas-desus yang santer pada Desember
1877, "Si Singamangaraja akan datang dengan pasukan Acehnya untuk membunuh
orang Eropa dan orang Kristen di kalangan penduduk," tulis WB Sidjabat
dalamAhu Si Singamangaraja. Pada 16 Februari 1878,
Sisingamangaraja memaklumatkan perang terhadap bangsa kulit putih.
Berita itu menggemparkan penginjilBatakmission.
Nommensen yang melihat gangguan dari Si Sisingmangaraja segera mendatangi
pemerintah kolonial di Sibolga. Menurut Uli Kozok, Nommensen lah yang
menganjurkan kepada residen Belanda di Sibolga untuk menganeksasi Tanah Batak.
Nommensen meminta agar residen Boyle mengirimkan pasukan, menaklukkan seluruh
Silindung menjadi bagian Hindia Belanda.
Bulan Maret 1878, Nommensen menerima dan
menampung tentara Belanda di gerejanya di Pea Raja. Sembari menunggu pasukan
tambahan dari Sibolga, Nommensen mengizinkan pemuda Batak Kristen dipersenjatai
menjadi milisi; memerangi kaum sebangsanya. Selanjutnya, dia dan rekannya
August Simonet mendampingi tentara Belanda menaklukkan Balige dan Bakara.
Selama dua bulan ekspedisi, diperkirakan
ratusan pasukan Batak menjadi korban tewas. Aksi ini sempat menuai kecaman dari
pers negeri BelandaNieuwe Rotterdamsche Courant, 20 Mei 1878,
"karena tindakan mereka yang bengis dan keji."
Nommensen dalam laporannya di BRMG yang
dikutip Kozok juga mengaku prihatin atas orang-orang Batak yang menjadi korban
dalam Perang Toba. Namun Nommensen tetap membenarkan apa yang terjadi dengan
dalil, "Orang Batak hanya bisa menjadi manusia yang beradab bila berada di
bawah kekuasaan bangsa Eropa." Tanah Batak mulai memasuki peradaban baru:
peradaban kolonial.
Menurut Kozok, agenda RMG tempat Nommensen
bernaung bukan hanya di bidang agama. Selain kristenisasi, membawa peradaban
Eropa ke negeri jajahan juga menjadi tujuan para misionaris saat itu.
"Kalau orang Belanda hanya mementingkan satu:
uang. Sedang yang terpenting bagi orang Jerman itu adalah prinsipnya,
keunggulan rasnya," tutur filolog Universitas Hawai ini kepadaHistoria.
"Termasuk anggapan bahwa orang Batak tidak setara dengan orang Barat. Dan
karena itu mereka tidak boleh memperistriboru(gadis) Batak."
Bagi pemerintah kolonial Belanda, pendudukan
Tanah Batak memberi keuntungan tersendiri. Sebagai wilayah penyangga, hal ini
akan mencegah potensi perlawanan melalui terbentuknya poros Islam
Aceh-Batak-Minangkabau. Dengan demikian, perkebunan tembakau Deli yang tengah
berkembang sebagai pusat ekonomi kolonial di Sumatera Utara tetap terjaga
keamanannya.
Atas jasanya sebagai juru damai, pada 27
Desember 1878, Nommensen bersama Simoneit menerima kado natal dari pemerintah
kolonial, masing-masing sebesar 1000 Gulden. Semua gereja dan sekolah yang
rusak akibat serangan pasukan Si Singamangaraja juga mendapat ganti rugi. Sejak
ekspedisi Toba, subsidi dari pemerintah kolonial untuk pembangunan
sekolah-sekolahBatakmissionmengalir lancar.
Orang-orang Batak yang telah dikristenkan
sejak saat itu memberi gelar adat tertinggi kepada Nommensen,Ompui.
Gelar Ompui sebelumnya hanya disematkan pada
Si Singamangaraja, tokoh yang dihormati di kalangan Batak tradisional. "Dua
orang tokoh besar yang mendapat tempat yang istimewa ini justru masing-masing
amat berbeda pendiriannya," tulis A. Sibarani dalamPerjuangan Pahlawan
Nasional: Sisingamangaraja XII.
Nama Nommensen juga diabadikan menjadi
universitas terkemuka di kota Medan dan Pematang Siantar.Batakmissionyang
dirintisnya telah melembaga menjadi gereja HKBP (Huria Kristen Batak
Protestan), yang kini menjadi gereja etnis dengan jemaat terbesar di Asia
Tenggara (4.5 juta anggota).
Menurut Jan Sihar Aritonang, seiring
sejalannya misi penginjilan Nommensen dengan penetrasi kolonialisme harus
dilihat dari konteks zamannya. Nommensen merupakan produk Jerman abad ke-19.
Dalam kurun waktu tersebut, negeri-negeri Eropa dilanda kemajuan peradaban.
"Abad Kristen, abad penginjilan, disebut juga
abad pencerahan. Dan bisa dikatakan pula sebagai abad superioritas, karena di
masa itu lah puncak kejayaan bangsa-bangsa Eropa; puncak kolonialisme," kata
Aritonang yang merupakan Guru Besar Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta
kepadaHistoria.
"Nommensen adalah anak zamannya," pungkasnya. (tum/Historia)