SUMUT.WAHANANEWS.CO - Kejanggalan demi kejanggalan muncul dalam penanganan kasus dugaan penganiayaan yang menimpa Roy Erwin Sagala di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Proses penyitaan DVR rekaman CCTV di lokasi kejadian yang berada di gudang milik Wakil Bupati Dairi, Wahyu Daniel Sagala, menuai banyak pertanyaan?, dan yang menjadi terlapor nya menurut pengakuan korban adalah Wakil Bupati Dairi dan rekan rekannya.
Kasus ini bermula dari dugaan pencurian yang dilakukan RES di gudang milik Wakil Bupati Dairi pada 4 Januari 2025 dini hari. Pengakuan Roy Erwin Sagala, ia kembali mendatangi gudang yang sama di malam hari nya dan mengaku ingin bertanggung jawab atas perbuatannya, namun justru dianiaya secara keji yang diduga dilakukan wakil bupati Dairi, kejadian ini sudah dilaporkan ke Polres Dairi. Ironisnya, aksi dugaan pencurian yang terekam CCTV sempat diunggah sebagai komentar di salah satu postingan FB pada akun milik istri korban, namun pengakuan dari pengacara korban mendapatkan kabar dari Polres Dairi, rekaman cctv penganiayaan yang dialami kliennya tidak ada lagi, padahal lokasi kejadian nya sama.
Baca Juga:
Polres Dairi Sita DVR CCTV Kasus Penganiayaan yang Diduga Libatkan Wakil Bupati Dairi
3 SP2HP yang dilayangkan pada tanggal 5, 25 februari serta 17 Maret 2025 menyatakan hal yang sama yang berbunyi "rekaman cctv pada saat terjadi penganiayaan tidak ada ditemukan setelah dilakukan pengecekan rekaman cctv", hal ini terasa janggal setelah ditelaah penasehat hukum korban.
Diketahui sebelumnya pihak Polres Dairi pada 15 Januari 2025 lalu telah menyita rekaman cctv namun pihak penyidik hanya menyita rekaman cctv dimulai dari tanggal 6 Januari, dan tidak ada penyitaan rekaman cctv pada peristiwa penganiayaan tersebut pada tanggal 4 Januari 2025.
Menurut pengakuan korban melalui Supri Darsono Silalahi selaku Penasehat hukum korban, saat menerima SP2HP pada tanggal 5 Februari 2025 dimana kendala penyidik salah satunya tertulis tidak ada terjadi peristiwa penganiayaan
Baca Juga:
Lamsiang Sitompul: Kasus Penganiayaan Roy Sagala di Polres Dairi Dinilai Lamban dan Tumpul!
"Isi salah satu kendala di Surat itu adalah "Rekaman cctv pada saat terjadi penganiayaan tidak ada ditemukan setelah dilakukan pengecekan rekaman cctv", padahal saat itu pihak penyidik pada 15 Januari lalu hanya menyita rekaman cctv dimulai dari tanggal 6 Januari, dan tidak ada penyitaan rekaman cctv pada tanggal 4 Januari 2025, awalnya kita tak menaruh curiga dengan kalimat tersebut," ujarnya sembari menyampaikan bahwa pihak Polres Dairi didalam SP2HP itu tertulis untuk tindak lanjut pihak penyidik akan berkoordinasi dengan ketua pengadilan Negeri Sidikalang terkait izin penggeledahan dan izin penyitaan.
Lalu sambung Supri Darsono Silalahi menjelaskan pihaknya pada tanggal 25 Februari 2025 menerima SP2HP lanjutan dimana saat ia baca di kendala penyidik salah satu nya masih hal yang sama yang berbunyi "rekaman CCTV saat terjadi penganiayaan tidak ada ditemukan setelah dilakukan pengecekan rekaman cctv", hal ini sudah menimbulkan kecurigaan Supri dengan pernyataan yang ada di SP2HP itu, dan hal yang sama rencana tindak lanjut mereka akan berkoordinasi dengan ketua pengadilan Negeri Sidikalang terkait izin penggeledahan dan izin penyitaan. Hal ini membuat rekaman cctv yang terjadi peristiwa penganiayaan pada tanggal 4 Januari 2025 tak kunjung disita
"Saya sempat berdebat dengan menyatakan kepada pihak Polres Dairi mengapa harus menunggu izin dari ketua pengadilan? sementara untuk pasal 34 KUHAP bisa digunakan pihak Polres untuk melakukan penyitaan, setelah perdebatan terjadi pihak polres melakukan penyitaan DVR rekaman cctv dari TKP, dan berjanji akan mengirimkan SP2HP ke Labfor Polda Sumut," ungkapnya.
Ironisnya, yang lebih mengejutkan Supri Darsono, SP2HP yang ia terima pada tanggal 17 Maret 2025 ia melihat penyidik lagi lagi menulis kan kendala yang sama dimana tertulis "rekaman cctv pada saat terjadi penganiayaan tidak ada ditemukan setelah dilakukan pengecekan rekaman cctv", parahnya lagi DVR cctv telah disita lalu beberapa hari kemudian dikirim ke Labfor Polda Sumut setelah diterbitkan SP2HP tersebut.
"Belum diperiksa Labfor Polda Sumut, pihak Polres Dairi menyatakan rekaman cctv pada saat terjadi penganiayaan tidak ada ditemukan setelah dilakukan pengecekan rekaman cctv", nah disitu lah timbul kecurigaan kita ada apa dengan ini semua makanya saya pastikan adanya Obstruction of justice yang terjadi pada kasus kliennya saya," ungkapnya.
SP2HP tanggal 17 Maret 2025
Rentetan kasus Roy Erwin Sagala membuat Dosen USU Medan Fakultas Hukum yang juga sebagai Praktisi hukum Dr. (C) Tommy Aditia Sinulingga angkat bicara.
Praktisi hukum Dr. (C) Tommy Aditia Sinulingga, menyatakan terkait rekaman cctv yang uda diambil itu katanya tidak ditemukan saat dilakukan pengecekan, itu uda jelas lah dalam hal ini ada menghilangkan barang bukti.
"Menghilangkan barang bukti bisa dapat juga diduga si terlapor menghilangkan barang bukti atau dalam hal ini ada diduga oknum penyidik ada melakukan kerjasama untuk menghilangkan barang bukti ini, makanya adanya sangat sangat kejanggalan," ujarnya, Rabu (19/3/2025), sembari menjelaskan kronologi bahwa kejadian inikan duluan dilakukan pencurian pada dini hari baru setelah itu dilakukan penganiayaan pada malam harinya, ia heran video pencurian ditemukan namun video penganiayaan tidak ditemukan nah ini sudah jelas ada dalam hal ini menghilangkan barang bukti yang terkait.
Lanjut Tommy Aditia Sinulingga menerangkan obstruction of justice itu jelas diatur dalam hukum dan ada sanksi dalam melakukan obstruction of justice.
"Terlebih lagi yang paling bahaya apabila obstruction of justice yang melakukan apabila diduga oknum penyidik yang mengetahui tentang hukum. Bisa dipatut diduga keras kenapa terjadi kejanggalan kejanggalan , rentetan rentetan uraiannya patut kita duga ada keterlibatan oknum penyidik menurut hemat saya," tegasnya.
Sehingga sambung Tommy Aditia Sinulingga menyampaikan dalam hal ini perlu ditindak tegas oknum penyidik ini maka perlu kita laporkan kepada Kapolri Wakapolri, Propam , Kompolnas bahkan komisi III DPR RI untuk dilakukan RDP.
"Karena ini menyangkut dalam hal politis si terlapor dalam hal ini ibaratnya melawan karena orang yang punya kuasa biasanya diduga membuat abuse of power penyalahgunaan kekuasaan karena dia punya kekuasaan didaerah tersebut. Makanya menurut saya perlu dilaporkan ke komisi III DPR RI agar i i menjadi terang benderang dan jelas," ucapnya.
"Obstruction of justice sudah diatur dalam pasal 221 KUHP, intinya apapun perbuatan dalam hal ini menghalang halangi proses hukum baik itu menghalangi bisa dikategorikan menyembunyikan pelaku kejahatan, yang memberikan pertolongan agar menghindari penyidikan atau pun penahanannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda benda yang digunakan dalam kejahatan nah ini termasuk ini kan masuk dalam pasal 221 KUHP, sehingga dalam hal ini kita dapat melaporkan terkait itu ada dugaan menghilangkan, menghancurkan atau menyembunyikan benda benda dal hal bukti kejahatan tersebut, kita bisa buat laporan terbaru terkait hal itu," imbuhnya.
Untuk sanksi orang yang melakukan obstruction of justice kata Tommy Aditia Sinulingga adalah ancaman 12 tahun pidana dalam hal ini tidak tanggung tanggung apabila ada seseorang yang ingin mencegah atau menggagalkan, penghilangan barang bukti bisa dibuktikan dalam hal ini ia dikenakan ancaman 12 tahun pidana.
"Jadi ini tidak main main terhadap obstruction of justice, apalagi yang melakukan ini adalah seorang tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi panutan, ini tidak bisa dianggap remeh remeh, dia seorang penguasa di daerah itu jadi dia bisa dalam hal ini punya akses mengatur atau dalam hal ini melakukan komunikasi terhadap oknum oknum aparat penegak hukum yang dalam hal ini bisa untuk mengabulkan dia terhadap yang bersangkutan, Tarok lah saya beranggapan seperti ini urusan benar atau tidak benar itukan sudah ada proses yang dimana negara kita adalah negara hukum," terangnya.
"Tapi yang dilakukan terlapor ini adalah melakukan main hakim sendiri, ngak mungkin kita bisa memaklumi perbuatannya, seharusnya dia sebagai wakil pemimpin daerah harus melindungi citra bahwasanya negara Ini adalah negara hukum," tambahnya.
Ia berharap kasus ini agar sampai dan di dengar ke Kapolri dan Presiden agar jangan ada terjadi lagi dengan peristiwa yang sama.
"Harapan saya kalau bisa Kasus ini harus mencuat sampai ke ranah publik, agar sampai juga ke Kapolri, bahkan sampai ke pak presiden karena ada oknum pimpinan daerah ada melakukan dugaan penganiayaan, penyekapan terhadap masyarakat, seperti beberapa tahun yang lalu ada seperti kita ketahui ada bupati yang melakukan pelanggaran HAM melakukan penyekapan dalam hal ini jangan sampai terulang lagi, hal yang demikian kita harus melakukan pencegahan, ini baru satu belum lama menjabat apalagi kalau sudah lama menjabat sangat bahaya kalau seperti ini," jelasnya.
Saat dikonfirmasi Kasat Reskrim Iptu Wilson Manahan Panjaitan membenarkan pihaknya baru mengirimkan DVR tersebut ke Labfor Polda Sumut pada hari Senin (17/3/2023) lalu disaat bersamaan diterbitkan SP2HP.
"DVR nya sudah diantar pada hari Senin, kemungkinan bisa memeriksa sekitar dua Minggu ini," akunya.
Selain itu Iptu Wilson Manahan Panjaitan menyampaikan kasus yang sudah dilaporkan Roy Erwin Sagala sudah naik sidik dan masih memiliki satu alat bukti ditambah petunjuk bukti yang sekarang masih mau disingkronkan.
"Kami telah transparan kasus sudah kami tangani, untuk kasus pasal 170 dan 351 sudah naik sidik cuma kita masih punya satu alat bukti ditambah ada petunjuk tapi kami harus sinkronkan petunjuk ini, ketepatan setelah saya di polres Dairi saya baru jalan kan program supaya kalau video itu melalui hp direkam cctv, kita mau langsung dari DVR nya, jadi biar jelas gimana kasus ini, kita juga sudah kasih SP2HP kepada pelapor, kita nunggu kabar hasilnya gimana dari Labfor karena sudah diantar," tutupnya, Kamis (20/3/2025).
[Redaktur : Dedi]