Pada tahun 2008, Noor memutuskan untuk meninggalkan Myanmar
usai konflik yang terjadi di tanah kelahirannya itu. Kata Noor, laki-laki
dewasa dari etnis Muslim-Rohingya di wilayahnya hidup dengan ketidaknyamanan
dan penuh ketakutan. Hal tersebut yang membuat mereka memilih meninggalkan
Myanmar.
Baca Juga:
Mark-Up Tanah Ratusan Miliar, KPK Sita Rumah Mewah Salomo Sihombing di Medan
"Itu di Myanmar sangat sulit, karena Muslim-Rohingya apalagi
di provinsi kami seperti dikurung. Tidak bisa belajar melanjutkan pendidikan
dari kabupaten satu ke kabupaten lainnya saja enggak bisa pergi. Tidak
diizinkan pemerintah. Bagi kami hak asasi manusia (HAM) tidak ada di Myanmar
karena itu kami meninggalkan," katanya kepada VOA, Selasa (22/06/2021).
"Apa pun sehari-hari kami itu seperti hidup dalam
ketakutan, karena tentara bawa lori (mobil pengangkut barang) besar. Setelah
itu seperti mau bawa kuli. Begitu saja bawa, habis itu tidak ada dipulangkan,
para pria dewasa sangat bahaya untuk hidup di lingkungan tersebut," lanjutnya.
Baca Juga:
Terkait Korupsi Lahan Rorotan, KPK Sita Satu Rumah Mewah di Medan
Kemudian, Noor berangkat menuju Bangladesh untuk mencari
kehidupan yang lebih tenang. Namun, faktanya tak sesuai harapan. Sekadar
mendapatkan kartu identitas pun sulit. Ia kemudian mengadu nasib ke Malaysia,
berharap pada saudara sesama etnis Rohingya yang sudah lebih dahulu berada di
negeri jiran itu. Dari Bangladesh ia berangkat menuju Malaysia melalui jalur
laut dengan menumpangi sebuah kapal kecil.