Supaya ditanggapi sebenarnya, kita harus jujur mengungkapkan
diri kepada orang lain. Kita harus menghindari terlalu banyak
"penopengan" atau "pengelolaan kesan" (Jalaluddin
Rakhmat, 1985).
Baca Juga:
Politik Uang Merusak Nilai Estetika Masyarakat Lokal
Kembali ke judul tulisan "Ni Harat Jarijari Mangampir
tu Botohon" merupakan kearifan budaya Nusantara telah membentuk karakter,
sikap, perilaku peka terhadap penderitaan orang dan/atau pihak lain dengan rasa
iba, sedih, simpati, empati, peduli, solidaritas, kesetiakawanan, serta tanggap
bantu- membantu, tolong-menolong, topang- menopang, gotong-royong dengan
kapasitas masing-masing karena turut merasakan perasaan dan penderitaan orang
dan/atau pihak lain, tanpa sekat-sekat pembatas.
Baca Juga:
Perdata Tunda Pidana atau Pidana Tunda Perdata?
Kearifan budaya "Ni Harat Jarijari Mangampir tu
Botohon" seharusnya menjadi salah satu kekuatan maha dahsyat dalam
menghadapi wabah pandemi covid-19 sedang dihadapi Indonesia maupun seluruh
negara-negara di dunia, sehingga tidak ada tak mau tau, acuh tak acuh, apalagi
menambah kebingungan, kecemasan, ketakutan, kepanikan dengan berita-berita hoax
atau kebohongan, fitnah, hujat, hasut, provokasi, agitasi, nyinyir,
cemeti, cemooh, ujaran kebencian bermasker hipokritisme, munafik,
halusinasi, paranoid, dll.
Sungguh amat sangat disayangkan dan disesalkan munculnya
sikap perilaku tak terpuji dan tak beradab yang masih tega melakukan
"Mandurung di aek na litok" atau mengambil kesempatan dalam
kesempitan seperti: menimbun obat-obatan, menimbun oksigen, korupsi dana covid-19,
korupsi dana stimulan perekonomian, penyelewengan kekuasaan, dll demi meraup
keuntungan pribadi, kelompok, golongan, serta cari panggung politik di saat
republik dilanda bencana kemanusiaan sangat mengerikan.