“UNESCO adalah lembaga internasional yang kredibel, dan pengakuan yang mereka berikan tentu didasarkan pada nilai strategis yang harus dijaga bersama. Peringatan dalam bentuk ‘kartu kuning’ ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Jika tidak segera ditindaklanjuti dengan langkah nyata, bukan tidak mungkin status Kaldera Toba sebagai bagian dari jaringan geopark dunia bisa terancam,” tambahnya.
Menurut Tohom, pemerintah harus menghentikan pendekatan proyek jangka pendek yang berorientasi pada pembangunan fisik semata.
Baca Juga:
Jadi Tuan Rumah Lari Lintas Alam Dunia, MARTABAT Prabowo-Gibran Dorong Promosi Otorita Danau Toba dan Pulau Samosir
Ia menekankan perlunya penataan ulang manajemen kawasan, dengan mengedepankan edukasi, riset, konservasi, dan pelibatan aktif masyarakat adat sebagai garda terdepan pelestarian.
Tohom juga mengingatkan bahwa pembangunan infrastruktur harus diimbangi dengan penguatan kesadaran ekologis di semua lapisan.
"Tanpa keseimbangan tersebut, kita berisiko kehilangan bukan hanya status geopark, tetapi juga jati diri dan nilai kebangsaan yang tercermin dari bagaimana kita menjaga warisan alam di mata dunia,” ujarnya.
Baca Juga:
MARTABAT Prabowo-Gibran Apresiasi Kepedulian Menparekraf dan Ketum PDIP terhadap Ancaman Pencabutan Status Kaldera Danau Toba oleh UNESCO
Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini menambahkan bahwa pendekatan geopark semestinya menjadi teladan dalam penerapan konsep ekonomi hijau dan biru yang berbasis pada kearifan lokal.
Ia mendorong dibentuknya satuan tugas lintas kementerian yang memiliki mandat khusus untuk mempercepat pembenahan Kaldera Toba sesuai dengan standar yang ditetapkan UNESCO, sebelum batas evaluasi pada Juli 2025.
“Jika bangsa ini mampu membangun Ibu Kota Negara (IKN) dari titik nol, tentu mempertahankan Kaldera Toba, yang telah lebih dahulu diakui dunia, bukanlah hal yang di luar jangkauan. Ini tentang bagaimana kita menempatkan prioritas nasional. Kita harus memastikan bahwa reputasi Indonesia tetap terjaga, tidak tercoreng oleh kekurangan koordinasi atau kurangnya visi dalam merawat kekayaan budaya dan alamnya,” ujarnya.