Kenyataan ini membuat BHL tidak meletakkan arti penting
pemenuhan kalori dan gizi, mereka senantiasa mengkonsumsi daun singkong yang
dipungut dari pekarangan rumah dan dengan lauk yang teramat rutin seperti ikan
asin, bahkan mie instan pun mereka jadikan lauk makan.
Baca Juga:
Dugaan TPL Buka Lahan di Hutan Alam, Menteri KLH Segera Check
Mereka telah memaksakan diri untuk berhemat, pun begitu
mereka tetap mengalami defisit. Bahkan untuk kebutuhan beras pun, mereka
adakalanya mengutang ke Sub Kontraktor. Situasi ini, mengharuskan BHL mesti
bekerja suami dan istri di perkebunan kayu tersebut, serta memperpanjang jam
kerjanya dengan menggunakan hari libur menjadi buruh upahan dilahan pertanian
masyarakat asli.
Disamping itu, para BHL tidak menerima hak-hak lainnya
selain upah murah. Mereka tidak mendapatkan Tunjungan Hari Raya (THR), bonus
dari capaian target produksi atau insentif maupun tunjungan-tunjungan lainnya.
Baca Juga:
Menteri LHK Akan Evaluasi Keberadaan PT TPL dan Food Estate di Tano Batak
Mereka juga tidak terlindungi sebagai peserta BPJS Kesehatan
dan sebagian BHL cukup didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Mereka
tidak pernah mendapatkan hak cuti tahunan, cuti mengkitankan/membaptiskan anak,
cuti lebaran, cuti karena ada keluarga meninggal dunia, serta cuti-cuti
sebagainya. Bahkan BHL perempuan pun tidak mendapatkan cuti haid, cuti hamil
dan melahirkan serta cuti keguguran. Hari libur nasional mereka diperintahkan
tidak bekerja, tetapi upah tidak dibayar. Anak-anak BHL tidak mendapatkan
fasilitas bantuan sekolah dari TPL, dan sebab itu rerata anak-anak BHL putus
sekolah setelah tamat dibangku sekolah dasar. TPL juga tidak menyediakan sarana
tempat penitipan anak dan bermain, sehingga anak-anak mesti ditinggalkan di
rumah (dibarak) ketika ayah dan ibunya bekerja.