BHL dan keluarganya diberi tempat tinggal, namun tidak
pantas disebut rumah dan layaknya disebut barak. kondisinya "sangat-sangat jauh
dari kata sederhana". Barak ini berdinding papan kusam, lantai semen, atap seng
berkarat, tanpa kamar dan tempat tidur serta tanpa dapur dan kamar kakus (WC).
Ukuran barak berkisar 4 x 5 meter dan berbatas sebelah dinding papan antar
tetangga. Bila ingin memiliki kamar dan tempat tidur, dapur dan kamar kakus
(WC), buruh harus menabung untuk membangunnya dan tak mungkin didapatkan secara
gratis.
Baca Juga:
Dugaan TPL Buka Lahan di Hutan Alam, Menteri KLH Segera Check
Kamar mandi berdinding seng karat, terbuka tanpa atap dan
berada sekitar 15 meter dari barak. Persisnya disamping bawah badan jalan, yang
selalu dilalui orang. Bila orang lewat menoleh kesamping, maka terlihatlah
orang didalam kamar mandi tersebut. Air mandi dialiri melalui pipa yang
terhubung ke seberang jalan, bukan bersumber dari air sungai atau mata air, tetapi
kolam ukuran 20 x 20 meter yang dibuat oleh Sub Kontraktor menjadi genangan
air. Meteran listrik dipasang 1 untuk 4 unit barak, dibayar buruh secara
patungan sebesar Rp. 50.000/bulan per unit. Di barak, BHL tidak memiliki
Televisi, musik, radio atau sepeda motor. Peralatan memasaknya pun biasa,
jarang dari mereka yang memiliki rice cooker dan kompor gas. Kuali, piring dan
cangkir sekedarnya dan ada yang menggunakan periuk serta kayu sebagai bahan
bakar memasak.
Rendahnya upah yang diterima BHL, tak luput pula dari
pemotongan serta denda, perampasan upah buruh ini terjadi dalam hal :
(1).Pembayaran premi BPJS ketenagakerjaan bagi BHL yang menjadi peserta maupun
tidak, (2). Bila ada pohon eukaliptus yang mati terpapar racun hama dipotong
upah sebesar Rp. 50.000 per pohon, (3). Bila mangkir (tidak masuk) kerja selain
upah tidak dibayar dan upah yang ada pun dipotong, (4). Pembelian perlengkapan
kerja, Baju kaos lengan panjang, topi, sarung tangan dan sepatu bot. Untuk Helm dan kaca mata kerja yang menjadi kebutuhan
BHL, tidak disediakan perusahaan. (5). Pengeluaran biaya listrik dan fasilitas
rumah, seperti pembuatan kamar dan tempat tidur serta kamar kakus (WC).
Baca Juga:
Menteri LHK Akan Evaluasi Keberadaan PT TPL dan Food Estate di Tano Batak
Hal tersebut membuktikan bahwa PT. TPL tidak memberikan
manfaat nyata dalam meningkatkan perekonomian buruh serta menguatkan nilai
peredaran uang dimasyarakat sekitar area konsesi. Dibalik stigma penyebutan BHL
ini, menjadi semacam legitimasi bagi TPL untuk memisahkan status sosial antar
pekerja "mana yang pantas mendapatkan perlindungan hak dan mana yang tidak
pantas dilindungi haknya". Sehingga dengan sistem BHL ini, TPL terus mendulang
laba yang super dan para BHL direndahkan harga dirinya dan kehilangan
kepercayaan diri untuk berinteraksi sosial dimasyarakat sekitar pemukiman
baraknya.
PT TPL Tidak Layak dapat Sertifikasi