Veth mengatakan bahwa identitas "Dayak" sebagai kategori
etnis besar yang melingkupi seluruh populasi lokal Kalimantan - bahkan juga
sampai ke Sulawesi - adalah pemberian para pegawai kolonial yang melanjutkan
penamaan "Dayak" dari orang-orang Melayu untuk merujuk masyarakat pedalaman
yang bukan Islam. Veth mengutip sebuah studi etnografi yang dilakukan M.T.H.
Peralaer pada 1881:
Baca Juga:
Batak di Filipina, Satu dari 7 Suku yang Terancam Punah
"Tidak ada tempat di Kalimantan, setidaknya di bagian pulau
yang kita (Belanda) kuasai, yang menunjukkan bahwa kata itu akrab digunakan;
kata itu hanya dikenal di distrik-distrik yang bersentuhan dengan kita orang
Eropa," tulis Peralaer sebagaimana dikutip Veth.
Baca Juga:
3 Penyanyi Muda Berdarah Batak Ini Turut Mewarnai Industri Musik Indonesia
Penamaan itu kemudian malah menjadi lumrah digunakan oleh
orang Eropa. Merujuk kembali kepada tulisan Tanasaldy, awalnya beberapa
kelompok "Dayak" merespons label itu dengan penolakan, tapi ada juga beberapa
yang justru mengapropriasinya. Selanjutnya, pada periode setelah Perang Dunia
II, kategori etnis "Dayak" digunakan oleh Belanda untuk menandingi gerakan
kemerdekaan. Jika selama periode sebelumnya, orang "Dayak" selalu
dimarginalisasi secara politis oleh kesultanan Melayu. Pada periode ini,
Belanda yang mencoba melakukan restorasi kekuasaan pada 1947 membuka peluang
bagi orang "Dayak" untuk terlibat dalam politik melalui pembentukan Daerah
Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Meskipun, jauh sebelum itu, pada 1919
sebenarnya telah terbentuk Sarekat Dayak. Namun, menurut Tanasaldy pemberian
akses dan peluang pada 1947 itu membuat kesadaran etnis baru mencuat dan
menguat di kalangan masyarakat "Dayak".
"Label itu menjadi lebih menarik bagi penduduk asli setelah
pemerintah (Belanda) pasca perang dunia kedua memberikan peran politik kepada
Dayak," tulis Tanasaldy. "Terlepas dari perseteruan di antara kelompok mereka
di masa lalu, ikatan di antara penduduk lokal telah menguat sebagai hasil dari
konstruksi identitas, pengalaman marginalisasi yang serupa dan tujuan politik
mereka yang umumnya sama." (tum/tirto.id)