Namun, orang Eropa tetap menggunakan istilah "Batak" sebagai
kategori pemisah antara populasi pedalaman yang berbeda dengan populasi pesisir
yang Melayu dan Islam. Sejak abad ke-19, para peneliti Eropa mulai berlomba untuk
memetakan area yang disebut-sebut sebagai "Tanah Batak" (Bataklanden) dengan
menggeneralisir kesamaan adat, bahasa dan mitos asal-usul. Di sisi lain,
memasuki abad ke-20, para peneliti Eropa mulai memperhatikan
perbedaan-perbedaan mencolok di antara kelompok-kelompok yang mereka
kategorikan sebagai "Batak".
Baca Juga:
Batak di Filipina, Satu dari 7 Suku yang Terancam Punah
Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ditemukan, Belanda
yang menguasai Sumatera memilih melanggengkan kategori "Batak" dalam sistem
administrasi kolonialnya. Melihat hal ini, Perret kemudian menyimpulkan
kategori "Batak" sebagai etnis merupakan label identitas yang kabur (evasive
identity), yaitu pelabelan kategori etnis oleh orang dari luar kelompok.
Identifikasi ini biasanya melibatkan pencantuman atribut-atribut stereotipikal,
misalnya pemakan babi, bukan melayu, bukan Islam, dan tinggal di pedalaman.
Petugas pemerintah kolonial sejak abad ke-19 melanjutkan usaha untuk memetakan
"Tanah Batak" dengan melakukan homogenisasi dan generalisasi.
"Dalam fase ini, aspek-aspek kesamaan fisik dan budaya di
seluruh wilayah yang telah ditentukan batas-batasnya mulai dicari-cari," tulis
Perret.
Baca Juga:
3 Penyanyi Muda Berdarah Batak Ini Turut Mewarnai Industri Musik Indonesia
Lantas mengapa pemerintah kolonial melakukan usaha-usaha ini?