Untuk mengesahkan praktik pemisahan seperti itu, para pegawai
kolonial mencari landasan yang jelas untuk kategori etnis yang mereka ciptakan.
Pada 1908 didirikan sebuah institut yang secara khusus bekerja untuk
memantapkan rumusan identitas "Batak" dan segala informasi tentang Bataklanden,
yaitu Bataaksch Instituut di Leiden. Dua tahun berikutnya, kontrolir Kok yang
bertugas di Deli-Serdang melaporkan keberhasilannya dalam mengumpulkan
ciri-ciri budaya dan psikologis "Batak" berkat kerja sama dengan misionaris dan
para peneliti. Sementara setahun sebelumnya, kontrolir Westenberg yang bekerja
di dataran tinggi Karo juga berhasil menyusun dan mengesahkan sebuah teks adat
dalam bahasa Karo yang dianggap menjadi penanda identitas "Batak Karo".
Baca Juga:
Batak di Filipina, Satu dari 7 Suku yang Terancam Punah
Usaha serius dilakukan lagi menjelang tahun 1930-an. Menurut
Perret, pada era itu pemerintah kolonial berusaha untuk tidak sekadar
mengembangkan kesadaran etnis pada masyarakat "Batak", tetapi juga memperkuat
kesadaran nasionalis lokal untuk menandingi kebangkitan gerakan nasionalis
Indonesia. Hal ini terutama dilakukan di Tapanuli, misalnya dengan rencana
pembentukan Groepsgemeenschap (satuan berbagai kelompok) yang akan dipimpin oleh
Batakraad (Dewan Batak) pada 1939. Menariknya, Perret mengungkap bagian dari
orang yang dianggap "Batak", seperti orang Mandailing, menolak keras rencana
ini, sekaligus menolak mengidentifikasi diri sebagai "Batak".
Baca Juga:
3 Penyanyi Muda Berdarah Batak Ini Turut Mewarnai Industri Musik Indonesia
Jadi, bagi Perret, masyarakat yang sekarang dikategorikan
sebagai Batak memang sudah eksis pada masa pra-kolonial dalam berbagai kelompok
yang memiliki kemiripan. Namun, kesadaran etnis seperti yang ada pada saat ini
belum ada. Kolonialisme kemudian menghadirkan kategori etnis Batak yang modern.
"Kami berpendapat bahwa pada zaman pra-kolonial, sebutan
"Batak" tidak ada dalam sumber-sumber di pedalaman," tulis Perret di bagian
kesimpulan. "Beberapa pengamatan langsung yang dilakukan orang Barat pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20 menunjukkan bahwa ketika kategori Batak
digunakan di pedalaman, sebutan itu selalu merujuk kepada "orang lain, tidak
pernah diri sendiri."