Proses pembentukan identitas dan kesadaran etnis di berbagai
negara bekas jajahan sering kali memang digunakan sebagai instrumen untuk
keperluan penyelenggaraan pemerintahan kolonial. Ilmuwan politik James Scott
dalam bukunya Seeing Like a State (1998) menyebutkan salah satu corak penguasaan
negara kolonial adalah usaha untuk melalukan simplifikasi atas kenyataan sosial
yang kompleks dan beragam. Di antara upaya ini adalah penamaan dan
kategorisasi. Dalam logika ini, kompleksitas masyarakat mempersulit
penyelenggaraan pemerintahan menjadi lebih sukar. Walhasil, diciptakanlah
kategori-kategori besar.
Baca Juga:
Batak di Filipina, Satu dari 7 Suku yang Terancam Punah
Antropolog Thomas Hylland Eriksen, seorang pakar kajian
etnisitas, berpendapat bahwa kesadaran etnis merebak melalui proses pembentukan
label dan kategori seperti itu yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Eropa.
Baca Juga:
3 Penyanyi Muda Berdarah Batak Ini Turut Mewarnai Industri Musik Indonesia
"Pembentukan label yang ketat untuk kategori sejumlah orang
tidak hanya memiliki dampak secara konseptual, tetapi juga secara sosial pada
kelompok yang dilabeli," demikian Eriksen dalam salah satu karya penting
mengenai etnisitas Ethnicity and Nationalism (2010). "Karena label menjadi
sebutan resmi, anggota kelompok pun mulai menggunakannya untuk mengidentifikasi
diri mereka sendiri," tandas Eriksen saat menjelaskan menggambarkan perubahan
identitas etnis yang terjadi pada orang Chamba di Afrika Barat.